Wakil Ketua MPR: Terorisme sampai Komunisme Tugas Berat BIN
VIVA.co.id - Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Hidayat Nur Wahid, mengingatkan lagi betapa tugas Badan Intelijen Negara (BIN) tidak ringan.
Nur Wahid mencontohkan dua aksi teror di Indonesia sepanjang Januari sampai Juli 2016. Pertama, di Jalan MH Thamrin, Jakarta, pada 14 Januari 2016, dan terbaru di Markas Kepolisian Resor Kota (Polresta) Solo, Jawa Tengah, pada 5 Juli 2016.
Dua peristiwa itu, kata Nur Wahid, membuktikan kinerja BIN belum maksimal karena aparat intelijennya gagal mendeteksi dini ancaman teroris sehingga luput pula mencegahnya.
“Benar, BIN harus ditingkatkan kinerjanya. Karenanya, kami di Komisi I DPR menolak pemotongan anggaran oleh pemerintah bagi anggaran pertahanan dan intelijen," katanya kepada wartawan Jakarta pada Rabu, 6 Juli 2016.
Menurut mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera itu, anggaran pertahanan negara, termasuk untuk BIN, tak boleh dikurangi, bahkan seharusnya ditambah. Soalnya tugas dan tantangan dinas rahasia negara itu bakal kian berat di masa mendatang. Maka dibutuhkan sumber daya dan dukungan anggaran operasional yang memadai.
Dia menyebut, misalnya, potensi perompakan dan penculikan di perairan Filipina serta sengketa kawasan perairan Natuna yang berbatasan dengan negara tetangga. Potensi itu, katanya, meningkat sekarang di masa mendatang, tak seperti dahulu.
Masalah lain yang menjadi bagian dari tugas deteksi dini BIN tak hanya terorisme tetapi juga separatisme dan gerakan laten komunisme. “Ada masalah separatisme, komunisme, dan itu mengharuskan hadirnya BIN yang lebih kuat.”
Ia menegaskan bahwa MPR sangat mendukung upaya perbaikan organisasi BIN agar lebih profesional, termasuk menyetujui tambahan anggaran untuk bidang pertahanan dan keamanan.
"Tapi bukan berarti negara kita akan berubah menjadi negara intelijen, tentu dalam rangka memberantas masalah komunisme, teroris, dan intervensi asing, supaya lebih kuat," katanya.