KPK Kembali Tangkap Panitera, MA Didesak Serius Benah Diri
- ANTARA FOTO/Andika Wahyu
VIVA.co.id – Sekali lagi, seorang panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi, karena terindikasi melakukan suap. Maka, Juru Bicara Komisi Yudisial, Farid Wajdi, mendesak Mahkamah Agung untuk melakukan langkah-langkah konkret.
Menurut Farid, perubahan mendasar di tubuh lembaga-lembaga peradilan diperlukan untuk meyakinkan publik, bahwa hukum di Indonesia masih bisa dipercaya. Sebab, sudah banyak pegawai pengadilan yang tertangkap lembaga antikorupsi itu, tapi perubahan mendasar secara sistem tak juga terlihat di tubuh MA.
"Pimpinan MA tidak cukup hanya sekadar menyatakan prihatin atas rentetan OTT (operasi tangkap tangan) itu. Memang, praktik perdagangan hukum adalah sebuah pilihan bagi oknum hakim dan pejabat pengadilan. Tetapi kemampuan pimpinan MA untuk membentengi para hakim dan pejabat pengadilan tidak melakukan perbuatan tercela adalah keniscayaan," kata Farid dalam keterangan tertulisnya, Jumat 1 Juli 2016.
Menurutnya, mesti ada upaya secara terus menerus, agar jajaran pengadilan tidak memperdagangkan hukum dan keadilan.
"Langkah jangka pendek itu perlu dilakukan untuk mengurangi praktik perdagangan hukum, jikalau tindakan besar untuk membersihkan pengadilan tidak mungkin dapat dilakukan untuk waktu yang singkat. MA mesti mencari titik masalah, mengapa di tengahnya gencarnya OTT oleh KPK terhadap oknum hakim dan aparat pengadilan, sama sekali justru tidak membuat takut? Apa yang salah? Kata kuncinya adalah evaluasi seluruh jajaran dan birokrasi peradilan, sistem dan aturan," ungkap Farid.
Hal ini termasuk membuka bekerjasama dengan lembaga eksternal, untuk membenahi lembaga peradilan sampai diyakini bersih dan memiliki integritas.
Farid juga bingung terhadap masalah ini, sebab aparat pengadilan tak kunjung jera merendahkan martabat peradilan, dengan mengulangi perbuatan mereka menerima suap.
"Sampai saat ini sudah belasan orang aparat pengadilan yang sudah di OTT KPK karena diduga menerima suap berkaitan dengan penanganan perkara. Padahal jarak waktu antara satu kasus dengan kasus lainnya masih dalam hitungan hari," katanya.
Hal ini menunjukkan kasus penangkapan sebelumnya tak memiliki efek jera pada para pelaku yang terlibat suap karena gelap mata dengan harta. "Sepertinya bagi para pelaku, mereka yang terdahulu ditangkap dan diproses hukum tak lebih dari sekadar ketiban sial saja. Dijadikan tersangka dan duduk sebagai pesakitan serta tidur dalam sel tahanan cuma risiko biasa," ujar Farid.
Menurut Farid, beragam penangkapan ini menegaskan gambaran mengenai praktik suap di pengadilan sebagai sesuatu yang nyata.Â
"Bermodal kekuasaan sebagai wakil tuhan dan mahkota independensi atau kemandirian lembaga peradilan, membuat tak sedikit oknum hakim dan aparat pengadilan dapat melakukan apa saja," terang Farid.
Farid menilai kasus suap ini akan semakin mengurangi kepercayaan masyarakat pada penegak hukum, khususnya lembaga peradilan, akibat sejumlah oknum yang mengambil keuntungan pribadi, tak peduli telah merendah martabat profesi dan lembaga peradilan.
"Daftar kasus beberapa OTT adalah delegitimasi yang semakin meruntuhkan wibawa dan martabat profesi hakim dan lembaga peradilan," ucap Farid.
Farid kini tinggal berharap, penangkapan terhadap panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ini, akan menjadi yang terakhir.
"Tersebab sejumlah hakim dan aparat pengadilan telah melakukan praktik perdagangan hukum. KY berharap kasus OTT aparat PN Jakarta Pusat menjadi kasus terakhir aparat pengadilan (hakim-nonhakim) yang terjerat dugaan suap dan ditangkap KPK," kata Farid.
Imbas serangkaian penangkapan terhadap pegawai pengadilan, juga diyakini membentuk persepsi publik, mengenai adanya sandiwara hukum. Konsekuensinya, saat menggelar sidang, publik sudah kadung tak percaya.
"Membersihkan korupsi harus berada di peradilan yang benar-benar bersih. Hanya sapu bersih yang dapat membersihkan. Sapu kotor justru membuat kondisi makin terpuruk," tulis Farid.
(ren)