Pemilik Kafe Jamban Usul Fatwa Haram Buang Air Sembarangan
- VIVA.co.id/Dwi Royanto
VIVA.co.id - Kafe Jamban milik seorang dokter di Semarang, Jawa Tengah, bernama Budi Laksono kini menjadi kontroversi di tengah masyarakat, terutama jagat maya. Di tengah komentar miring itu, Budi semakin getol mengampanyekan pentingnya jamban bagi seluruh keluarga Indonesia.
Menurut Budi, beragam alasan diungkapkan mengapa ia memilih Kafe Jamban sebagai media kampanye kesehatan, khususnya sanitasi. Pria yang juga berprofesi sebagai dosen di sejumlah perguruan tinggi negeri di Semarang itu telah lebih sepuluh tahun menjadi tokoh yang getol membangun budaya jamban sehat di pelosok Tanah Air.
Budi telah membangun lebih 173.000 jamban di berbagai daerah sejak tahun 2005. "Biayanya kadang dari pemerintah, swadaya maupun mandiri," kata Budi kepada VIVA.co.id di Kafe Jamban miliknya pada Kamis, 30 Juni 2016.
Perjuangan dan pengalaman panjang itulah yang membuat Budi terus berjuang menyosialisasikan pentingnya budaya jambanisasi. Kini, dia dan sejumlah relawan masih menggodok aturan agar buang air sembarangan bisa dijadikan fatwa haram oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).
"Jamban itu menurut agama (Islam) mengikuti sunah Rasul. Kalau enggak punya jamban, jelas (penyakitnya) nulari (menulari) yang lain. Kami masih berjuang agar ada ada fatwa haram buang air sembarangan," ujar Budi.
Banyak pemahaman keliru tentang istilah jamban yang dianut masyarakat. Selama ini, katanya, masyarakat masih menganggap pembangunan jamban sebagai hal belakangan yaang tidak terlalu penting. Padahal, dari jamban itulah segalanya bermula.
"Tercatat lima puluh dua persen orang Indonesia masuk rumah sakit karena tidak punya jamban.
Di negara-negara maju persoalan jamban ini begitu penting. Sampai mereka harus berpikir dua kali datang ke sini hanya karena masalah minimnya jamban sehat," katanya.
Perhatian khusus Budi di bidang sanitasi telah dimulai saat ia kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang. Rupanya, semangat itu berlanjut ketika ia menjalani program magister di Queensland University of Technology, Australia. Di sana ia bahkan menggarap tesis dengan tema sanitasi.
Gerakan membangun jamban dimulai tahun 2005. Saat itu ia dengan biaya sendiri mampu membangun proyek jamban di 13 desa di Semarang. Lalu tahun 2008 sampai 2011, gerakan 1.000 jamban jerih payahnya bahkan mampu menyabet penghargaan Museum Rekor Indonesia (Muri). Kini sudah 173.000 jamban dibangun.
Dia memecahkan rekor Muri dengan 1.500 jamban di Semarang pada 2015, yang mengalahkan rekor sebelumnya, yakni 1.400 jamban di Pontianak.
Gerakan tentang pentingnya jamban yang digalakkan Budi kini terus berlanjut melalui berbagai inovasi. Sosialisasi bahkan dilakukan dengan berbagai kegiatan lain, seperti membuat artikel di koran, wisata jamban, grup band bernama Jump-Band, dan yang kali ini fenomenal adalah Kafe Jamban.
Namun sejak diunggah dan menjadi viral di Facebook, Kafe Jamban milik Budi justru menuai kontroversi. Beragam komentar positif dan negatif muncul menyikapi foto kafe jamban miliknya. Ada netizen yang bahkan menghujat karena merasa jijik dengan jamban itu. Puncaknya, sejumlah netizen bahkan menyerukan petisi agar Kafe Jamban itu tak ditayangkan di sebuah televisi swasta Indonesia.
(ren)