Polri Menduga Vaksin Palsu Masih Beredar di Pasar
- Syaefullah/ VIVA.co.id
VIVA.co.id – Beredarnya vaksin palsu terungkap setelah Bareskrim Mabes Polri berhasil membongkar pembuatan vaksin bayi palsu di sejumlah wilayah Jakarta, Bekasi, dan Tangerang. Bahkan, dalam perkembangan kasus, jaringan pembuat vaksin palsu ini juga ditemukan di Semarang, Jawa Tengah.
Kepolisian saat ini terus mengejar jaringan pembuat vaksin palsu untuk mencegah penggunaannya di masyarakat. Sebab, Polri meyakini hasil produksi jaringan ini masih beredar di tengah masyarakat.
"Kami fokus ke mana peredarannya untuk mencegah dulu, dan sita peredaran yang di luar masih ada. Sejauh ini sudah ada beberapa termasuk di Semarang, itu upaya pencegahan supaya tidak beredar luas," ujar Kepala Bagian Penerangan Umum Mabes Polri, Kombes Pol. Martinus Sitompul di tvOne, Selasa, 28 Juni 2016.
Sejauh ini, kata Martinus, sudah ada 15 tersangka yang diduga terlibat pada jaringan pembuat vaksin palsu ini. Dari jumlah itu, 14 di antaranya sudah ditahan, dan seorang lagi menjadi tahanan rumah karena sedang mengandung bayi. "Atas rasa kemanusiaan, karena lagi hamil," katanya.
Menurut dia, penyidik Polri saat ini sudah memiliki data mengenai luas sebaran vaksin palsu berdasarkan keterangan para tersangka. Meski begitu, demi penyidikan perkara ini, data itu belum bisa dipublikasi ke masyarakat.
"Kami sudah data, tapi tidak bisa di-publish. Kami melakukan proses penegakan hukum jangan sampai masyarakat resah," ucap Martinus.
Dari pemeriksaan sementara juga diketahui bahwa vaksin palsu ini berisi cairan infus, yang kemudian dikemas ulang agar menyerupai kemasan vaksin impor yang memiliki nilai jual tinggi.
"Yang dipalsukan umumnya dari luar karena harganya lebih tinggi. Misalnya merek P dengan nama vaksin S, dijualnya Rp800 ribu, mereka jual Rp300 ribu, jauh di bawah harga pasaran," tuturnya.
Pada kesempatan ini, Sekretaris Umum Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia Dr. Piprim Basarah Yanuarso menjelaskan, dengan pemberian dosis vaksin sebesar 0,5 cc, maka vaksin palsu ini tidak memiliki efek samping kepada tubuh anak.
"Kalau isinya cairan infus, katakan dicampur, kalau dosisnya banyak, itu ada reaksi alergi, infeksi, dan merusak ginjal kalau jumlahnya signifikan. Tapi kalau 0,5 cc dalam satu kali sebulan, itu efeknya tidak ada," ujar Piprim.
Namun, hal ini justru yang membuatnya khawatir. Sebab, vaksin palsu tidak memiliki fungsi memperkuat sistem kekebalan tubuh, sehingga anak tetap rawan terkena penyakit. Di sisi lain, orang tua yakin anaknya telah imun dari penyakit, sehingga memiliki rasa sugesti bahwa mereka tidak bisa terjangkit virus atau bakteri tertentu.
"Jadi sugesti saja, saat terjadi wabah dia rentan kena, ini dampak yang signifikan," ucap Piprim.
Untuk itu, dia menyarankan agar orang tua yang yakin jika vaksinasi terhadap anaknya dulu palsu, agar kembali berkonsultasi dengan dokter anak mereka. Sebab, anak bisa mendapatkan vaksinasi ulang jika masih memenuhi syarat perkembangan usia.
"Ada yang namanya catch up imunisasi, itu sesuai usianya," kata Piprim.