Sunny, Staf Khusus Ahok Diduga Jadi Perantara Suap ke DPRD
- VIVA.co.id/Januar Adi Sagita
VlVA.co.id - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menduga ada anggota DPRD DKI Jakarta yang turut menerima suap terkait pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) mengenai reklamasi di Teluk Jakarta.
Seorang pejabat DPRD Jakarta, Mohamad Sanusi, menjadi tersangka penerima suap dari Presiden Direktur Agung Podomoro Land, Ariesman Widjaja.
Namun, ditengarai masih ada pejabat lain DPRD yang juga menerima suap. Sunny Tanuwidjaja, staf khusus Gubernur DKI Jakarta, diduga menjadi perantara dalam aliran uang itu. Penyidik mengonfirmasinya kepada Sunny dalam pemeriksaan pada 16 Juni 2016.
"Dia diminta keterangan apakah dia mengetahui ada pemberian ke anggota DPRD dari pengusaha yang lain," kata Pelaksana Harian Kepala Biro Hubungan Masyarakat KPK, Yuyuk Andriati, saat dikonfirmasi pada Senin, 20 Juni 2016.
Penyidik KPK menduga Sunny menjadi perantara pemberian suap kepada anggota DPRD lain dari beberapa pengusaha. Namun dia enggan menyebut siapa saja pengusaha yang dimaksud.
Saat disinggung apakah Sunny menjadi pihak yang memberikan suap secara langsung kepada DPRD, Yuyuk menyebut dugaan itu masih diselidiki.
Sebelumnya, anggota DPRD DKI Jakarta dari fraksi Hanura, Muhammad Guntur, menduga masih ada legislator lain yang turut menerima suap dalam pembahasan Raperda mengenai reklamasi di Teluk Jakarta. Bahkan, dia menyebut Sanusi bukan pemain utama dalam kasus itu.
Kasus itu terungkap setelah KPK menangkap tangan Presiden Direktur Agung Podomoro Land, Ariesman Widjaja, dan anak buahnya, Trinanda Prihantoro, serta Ketua Komisi D DPRD DKl Jakarta, Mohammad Sanusi.
Ariesman dan Trinanda disangka menyuap miliaran rupiah kepada Sanusi. Uang itu diduga terkait Raperda tentang reklamasi yang tengah dibahas di DPRD DKl Jakarta.
Suap ditengarai terkait pembahasan Raperda tentang Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Provinsi Jakarta 2015-2035 dan Raperda tentang Rencana Kawasan Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Jakarta Utara.
Dua Raperda itu diketahui memuat aturan-aturan tentang proyek reklamasi dan menuai polemik dalam pembahasannya hingga berkali tertunda. Pembahasannya terhenti karena terkait aturan soal nilai tambahan kontribusi yang harus diberikan pengembang kepada pemerintah sebesar 15 persen.
Diduga hal itu yang menjadi alasan penyuapan bos Agung Podomoro kepada pejabat DPRD DKI Jakarta. Namun diperkirakan ada anggota DPRD lain yang turut menerima suap.