Perda Diskriminatif Ada Karena Kepala Daerah Tak Tahu Aturan
- VIVA.co.id/Wahyudi A. Tanjung
VIVA.co.id – Munculnya peraturan daerah diskriminatif di sejumlah wilayah Indonesia ternyata ditengarai karena ketidakpahaman kepala daerah tentang undang-undang yang berkaitan.
Tak cuma itu, perda diskriminatif juga terjadi lantaran lemahnya pengawasan berjenjang yang dilakukan pemerintah saat perda itu ditelurkan.
Direktur Jenderal Otonomi Daerah, Kementerian Dalam Negeri Sumarsono mengatakan, seharusnya perda setingkat kabupaten/kota, maka menjadi kewenangan provinsi untuk mengawasi. Namun jika, perda setingkat provinsi maka Kemendagri yang akan mengawasi.
"Kasus Serang, Banten (penertiban pedagang ramadan). Mungkin provinsi kurang pengawas," kata Sumarsono, Rabu, 15 Juni 2016.
Begitu pun jika dikaitkan dengan undang-undang di atasnya. Kata Sumarsono, masih di kasus Serang Banten, yang melarang jual beli makanan di siang hari selama bulan ramadan, ternyata bertentangan dengan UU 39 tahun 1999 mengenai Hak Asasi Manusia (HAM).
"Dilarang jualan, dilarang melayani di bulan ramadan itu kan sudah luar biasa. Tak peduli orang yang tidak puasa itu karena sakit, musafir, itu melanggar hak orang," katanya.
Kemendagri saat ini sudah membatalkan perda yang dianggap menghalangi invetasi, bertentangan dengan UU di atasnya atau pun bersifat diskriminatif. Tercatat sudah ada 3.143 perda yang telah dibatalkan. Saat ini proses pendataan perda yang dianggap memberatkan tersebut masih dalam proses lebih lanjut di sejumlah daerah di Indonesia.
(mus)