Umar Patek, Modal Bubuk Tanaman Buat Satu Ruangan Tewas
- Kementerian Agama
VIVA.co.id – Kementerian Agama mengundang mantan komandan militer di Afghanistan, Abdurrohman Ayyub untuk mendalami radikalisme, Selasa 14 Juni 2016.
Ayub sengaja didatangkan sebagai salah satu narasumber untuk membagi pengalaman kepada Tim Cyber Kementerian Agama, tentang keterlibatannya dalam radikalisme. Sejumlah negara pernah dikunjunginya, mulai dari Afghanistan, Malaysia, Filipina, Australia, termasuk saat melakukan hit and run di sejumlah kebun sawit di Indonesia.
Dikutip dari website Kemenag, Selasa 14 Juni 2016, Ayyub yang sudah menjalani latihan militer di Afghanistan sejak 1983 itu mengungkapkan, kemampuan jebolan latihan militer itu dikenal mumpuni, tak sembarangan.
Ayyub menunjuk kemampuan Umar Patek, yang menguasai 30 jenis racun dan piawai membuat bom jenis ledakan tinggi (high explosive).
“Di ruangan tertutup seperti ini misalnya, cukup dengan bubuk tanaman yang ada di sekitar kita, sebarkan lewat AC, pasti semuanya tidak bisa bangun lagi,” kata Ayyub, yang berpangkat terakhir mayor dalam latihan militer di Afghanistan tersebut.
Kemampuan Umat Patek itu membuat Amerika Serikat gentar dan segan. Maka tak heran, pemerintah Negeri Paman Sam itu menghargai Patek sampai US$1 juta.
Ayyub yang kelahiran Jakarta 5 Maret 1963 meyakini Bom Bali I, Bom Bali II, dan Bom JW Marriot adalah buah kreasi teroris Indonesia. “Itu buatan pemuda-pemuda asli Indonesia, dari desa yang lugu, bukan buatan Amerika,” tuturnya.
Dalam dialog dengan tim siber Kemenag itu, Ayyub memaparkan, bagaimana gerakan radikalisme kini menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Dia mengatakan, jika pada 1983, ia harus melakukan baiat secara langsung, kini calon korban cukup dengan ponsel ,atau di depan komputer.
“Sekarang dikenal baiat online,” katanya.
Ayyub mengatakan, saat ini Islamic State Iraq Syria (ISIS) secara geografis memang jauh, tetapi bagi sementara orang dekat di hati.
Kini, Ayyub mengaku prihatin, karena paham radikal ekstrem sangat mudah dijejalkan kepada anak putus sekolah terlebih kalangan keluarga broken home. “Anak remaja yang stress cukup disulap tiga menit siap jadi ‘pengantin’, alias pelaku bom bunuh diri. Sementara, remaja galau hanya butuh tiga hari,” ujarnya.
“Untuk yang sarjana dibutuhkan satu bulan, S2 butuh dua bulan, dan program doktoral bisa kita ubah pola pikirnya dalam tiga bulan,” tambahnya sambil mencontohkan kalau di Australia ada penerima beasiswa doktoral dari Pemerintah RI, begitu pulang ke Indonesia malah memusuhi NKRI. (asp)