KPK: Aneh, Hakim Tolak Status Justice Collaborator
- VIVA.co.id/Ikhwan Yanuar
VIVA.co.id – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mempertanyakan langkah Majelis Hakim yang menolak pemberian status pelaku yang bekerja sama (Justice Collaborator) kepada Direktur Utama PT Windhu Tunggal Utama, Abdul Khoir.
Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata menyebut bahwa lembaganya memang berwenang dalam memberikan status JC kepada para tersangka yang bekerja sama. Atas dasar tersebut, Alex mengaku heran dengan keputusan Majelis Hakim Tipikor yang justru menolak status JC yang diberikan kepada Abdul Khoir.
"Yang menjadi pertanyaan sebenarnya siapa yang berwenang memberikan status JC. KPK sudah beberapa kali menerbitkan surat keputusan tentang pemberian status JC. Jadi yang berwenang memberikan status JC adalah penyidik dan penuntut umum, bukan hakim. Aneh jika hakim menolak pemberian JC," kata Alex dalam pesan singkat saat dikonfirmasi, Jumat 10 Juni 2016.
Alex yang juga merupakan Hakim Tipikor itu mengungkapkan bahwa pihaknya tidak sembarangan dalam memberikan status JC pada seorang tersangka. Menurut dia, pihaknya hempertimbangkan sejumlah hal dalam pemberian status tersebut.
"Dalam memberikan status JC, KPK sudah sangat selektif dan hati-hati serta sudah memperhatikan SEMA tentang kriteria pemberian JC. Oleh karena itu wajar JPU menuntut hukuman pidana yang lebih ringan," kata dia.
Adanya penolakan status JC oleh Majelis Hakim, dinilai Alex nantinya akan mempunyai dampak negatif dalam pengungkapan suatu perkara.
"Tentu saja penolakan hakim atas pemberian JC akan berdampak pada pengungkapan perkara secara utuh ketika tersangka tidak mau mengungkapkan peran pihak-pihak lainnya yang turut serta melakukan kejahatan," kata dia.
Sebelumnya, Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi menolak JC Direktur Utama PT Windhu Tunggal Utama, Abdul Khoir. Menurut Majelis, status JC tidak tepat diberikan kepada terdakwa perkara suap itu.
Menurut Majelis Hakim, Abdul Khoir merupakan pelaku utama dalam perkara suap ini. Dia dinilai lebih aktif dibanding pihak lain yang disebut-sebut turut memberikan suap.
Majelis menyebut, Abdul Khoir sejak awal sudah aktif melakukan pendekatan kepada Kepala BPJN IX, Amran Mustary demi mendapatkan proyek pembangunan jalan. Bahkan Khoir juga memberikan uang hingga miliaran rupiah kepada Amran yang ketika itu baru menjabat.
Selain itu, Khoir juga dinilai aktif melakukan negosiasi dengan sejumlah anggota Komisi V DPR seperti Damayanti Wisnu Putranti, Budi Supriyanto, Andi Taufan Tiro dan Musa Zainuddin agar mereka dapat menyalurkan dana aspirasinya ke dalam proyek pembangunan jalan di Maluku dan Maluku Utara.
Abdul Khoir pula yang dinilai menjadi koordinator pengumpulan uang dari pengusaha lainnya untuk diberikan kepada anggota dewan.
"Menimbang bahwa oleh karena peran terdakwa adalah sebagai pelaku utama dan berpedoman pada Pasal 10 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 serta Sema Nomor 4 Tahun 2011, maka majelis berpendapat bahwa penetapan terdakwa sebagai JC berdasarkan surat keputusan pimpinan KPK No.571/0155/05/2016 tanggal 16 Mei 2016 adalah tidak tepat. Sehingga tidak dapat dijadikan pedoman bagi majelis hakim untuk menjatuhkan pidana bagi terdakwa dalam perkara ini," kata Hakim Anggota, Fashal Hendri, saat membacakan pertimbangan amar putusan, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis 9 Juni 2016.
Pada putusannya, Majelis Hakim lantas menjatuhkan pidana penjara selama 4 tahun serta denda 200 juta subsidair 5 bulan kurungan kepada Abdul Khoir. Putusan itu lebih berat dibanding tuntutan Penuntut Umum pada KPK yang menuntut 2,5 tahun penjara dan denda Rp200 juta.