Penolakan JC Berpotensi Jadi Bumerang Penegak Hukum
- VIVAnews/Tri Saputro
VIVA.co.id – Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi telah memvonis Direktur Utama PT Windhu Tunggal Utama, Abdul Khoir, selama empat tahun penjara. Putusan ini lebih berat dari tuntutan Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang meminta hakim menjatuhkan pidana 2,5 tahun penjara.Â
Tuntutan ringan diajukan karena KPK menganggap Abdul Khoir merupakan Justice Collaborator (JC) atau saksi pelaku yang bekerjasama dengan penegak hukum.
Namun, termasuk mendapatkan hak untuk keringanan hukuman.
Menanggapi ini, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi W. Eddyono menganggap, perbedaan cara pandang terhadap saksi pelaku yang bekerjasama ini mengakibatkan penghargaan yang mestinya didapatkan JC menjadi sulit. Dia menilai, kejadian ini juga diakibatkan kurang harmonisnya peraturan mengenai JC.
"Misalnya, revisi dalam UU No 31 tahun 2014 juga tidak memasukkan mengenai persyaratan sebagai pelaku yang bekerjasama. Sehingga, rumusan syarat ini harus dicari padanannya dalam beberapa peraturan di luar UU, misalnya SEMA atau kesepakatan antar lembaga. Inilah yang membuka celah beda pandangan tersebut," ujarnya dalam keterangan pers yang diterima VIVA.co.id, Jumat, 10 Juni 2016.
Saat ini, regulasi yang tersedia mengenai syarat dan standar JC diatur dalam Undang-undang No. 31 tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, serta Peraturan Bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), Jaksa Agung, Kapolri, KPK, dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Selain itu, Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 4 tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu.Â
Supriyadi khawatir, jika perbedaan ini terus berlanjut, maka cita-cita Indonesia dalam mengusung peran JC untuk berkolaborasi di pengadilan akan makin surut. Sebab, para tersangka calon JC berpotensi berpikir ulang untuk kolaborasi dengan penyidikan dan penuntutan. Hal ini tentu menjadi kerugian tersendiri bagi upaya penegakan hukum.
"Hal ini akan mempersulit tugas penegak hukum dalam mengungkap kasus-kasus khusus. Kasus-kasus tindak pidana korupsi kelas berat, pembongkaran bandar narkoba maupun kejahatan terorisme yang dilakukan secara terorganisir," jelasnya lagi.
Padahal berdasarkan data di beberapa institusi, instrumen JC masih diharapkan para pelaku untuk mendapatkan keringanan hukuman, dengan membantu aparat penegak hukum. Di KPK, pada 2016 ada 21 permohonan tersangka korupsi dengan 2 kasus di terima sebagai JC, 10 orang ditolak atau tidak memenuhi syarat, dan 9 permohonan masih dalam proses.Â
Sedangkan menurut data LPSK, sampai dengan 2016 ada 8 kasus di mana tersangka atau terdakwa telah mendapatkan status JC dan dalam perlindungan LPSK. Seluruh kasus tersebut adalah kasus korupsi. Untuk data dari Badan Narkotika Nasional (BNN), di 2016 ada 8 narapidana yang meminta status JC, tapi seluruhnya ditolak karena tidak pernah bekerja sama dengan penyidik dan sebagian tidak pernah disidik BNN.Â
ICJR meminta institusi penegak hukum kembali duduk bersama untuk menyamakan persepsi soal frase pelaku utama', sebagai salah satu syarat dalam penetapan JC, dengan melihat aturan baru dalam Undang-undang No. 31 tahu 2014. Aturan ini mendefinisikan saksi pelaku adalah tersangka, terdakwa, atau terpidana yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana dalam kasus yang sama.
"Pasal ini harus menjadi rujukan baru bagi peraturan lainnya. SEMA atau kesepakatan bersama aparat penegak hukum harus di revisi berdasarkan Undang-undang baru tersebut," terang Supriyadi.