Jambi Kehilangan Hutan 8 Kali Lapangan Bola per Jam

Ilustrasi/Aktivitas pemadaman Kebakaran Hutan di Jambi
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Wahyu Putro

VIVA.co.id – Kehilangan tutupan hutan masih terjadi di Provinsi Jambi. Berdasarkan interpretasi Lansat 8 yang dilakukan Unit Geographic Information System Komunitas Konservasi Indonesia Warsi, dalam rentang tahun 2012 hingga 2016 Jambi kehilangan tutupan hutan sebesar 189.125 hektar. Dari interpretasi yang dilakukan pada tahun 2012 total hutan Jambi masih 1.159.559 hektar, kemudian pada tahun 2016 sudah turun menjadi 970.434 hektar. 

7 Mitos Horor Gunung Kerinci, Gunung Tertinggi Ke-2 di Indonesia

Dalam UU nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang secara jelas disebutkan, dalam rangka pelestarian lingkungan kawasan hutan yang harus dipertahankan minimal 30 persen dari luas daerah aliran sungai.

Seperti diketahui, Jambi masuk ke dalam empat Daerah Aliran Sungai (DAS), yaitu DAS Batanghari, DAS Betara Pengabuan, DAS Air Hitam, dan DAS Mendahara. Dengan kondisi hutan yang hanya kurang dari 1 juta hektar, maka Jambi sudah kondisi kritis. Ini terlihat dari tutupan hutannya yang sudah kurang dari 20 persen.

Anak Ivan Sugianto Nyesal Ngadu Ke Ayahnya Karena Berujung Penjara, Deddy Corbuzier Sindir dengan Tertawa

“Hilangnya tutupan hutan Jambi hampir delapan kali lapangan bola per jam. Ini angka yang cukup besar di tengah upaya untuk mempertahankan hutan tersisa sebagai penyeimbang ekosistem,” kata Rudi Syaf, Manager Komunikasi Komunitas Konservasi Indonesia Warsi, Sabtu, 4 Juni 2016.

Dikatakannya, kehilangan hutan ini disebabkan berbagai aktivitas manusia, konversi hutan alam menjadi izin perusahaan hutan tanaman industri dan pembukaan tambang baik legal maupun ilegal. “Bahkan kini penghilangan hutan sudah masuk ke dalam kawasan lindung,” katanya.

AKP Dadang Tembaki Rumah Dinas Kapolres hingga Prabowo Tunjukan 'Taring' Bela Palestina

Dalam interpretasi yang dilakukan, kehilangan hutan yang paling banyak terpantau berada di selatan Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Di kawasan ini terpantau aktivitas land clearing sejumlah perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI), diantaranya Lestari Asri Jaya dan Wana Mukti Wisesa. Di kabupaten Bungo terdapat perusahaan Mugitriman Internasional, Malaka Agro Perkasa. Sementara di Merangin juga terdapat yang sedang beroperasi yaitu Hijau Arta Nusa dan Jebus Maju.

Tidak hanya itu dari pantauan di lapangan, hilangnya hutan dari kontribusi pembukaan lahan secara ilegal yang dilakukan oleh pihak-pihak lain. Pantauan yang dilakukan pembukaan lahan yang masif dilakukan terdapat di daerah Tebo, terutama sejak terbukanya akses jalan ke kawasan hutan dengan dibangunnya koridor jalan yang menghubungkan perusahaan HTI milik Sinar Mas dengan pabrik pengolahan kayunya di Tebing Tinggi Tanjung Jabung Barat.

Pembukaan lahan yang juga masif pun terlihat di kawasan Merangin, khususnya Jangkat dengan dibukanya kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) dan penyangganya untuk perkebunan kopi.

Kehilangan hutan juga disebabkan hadirnya perusahaan tambang di dalam kawasan hutan, baik secara legal maupun ilegal. Terdapat 84 ribu hektar kawasan hutan yang dipinjam pakai oleh Kementerian Kehutanan kepada perusahaan tambang pada rentang tahun 2013 hingga 2015.

Selebihnya pembukaan hutan untuk tambang dilakukan secara ilegal. Dalam pantauan yang dilakukan, dalam DAS Batang Batang Tabir Kabupaten Merangin, terlihat bukaan yang cukup besar untuk areal pertambangan emas tanpa izin. “Bahkan pembukaan tambang ini sudah masuk ke dalam kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat,” ujar Rudi.

Disebutkan Rudi, perubahan-perubahan tutupan hutan inilah yang menjadi penyebab semakin banyaknya bencana ekologis yang menimpa Jambi dalam beberapa tahun ini. Dari awal tahun ini saja, banjir bandang menghantam sejumlah tempat di Merangin, Bungo dan Sarolangun.

“Kondisi ini memperlihatkan bahwa kerusakan hutan yang terjadi telah menyebabkan hilangnya keseimbangan ekosistem yang menimbulkan bahaya bagi kelangsungan hidup manusia, terutama masyarakat yang berada di sekitar lokasi pengrusakan hutan berlangsung,” kata dia.

Menurut Rudi pemerintah masih belum terlalu serius dalam melakukan perbaikan tata kelola kehutanan sebagai bagian utama untuk menyelamatkan hutan, seperti pembukaan hutan untuk areal hutan tanaman industri. Dalam Peraturan Pemerintah nomor 6 tahun 2007 pasal 38 menyebutkan pemanfaatan hasil hutan bakau pada hutan tanaman industri dilakukan pada hutan produksi yang sudah tidak produktif. 

Menurut Kementerian Kehutanan, kriteria hutan alam yang tidak produktif dicirikan oleh pohon yang berdiameter kurang dari 20 sentimeter tidak lebih dari 25 batang per hektar.  Pohon induk kurang dari 10 batang per hektar. 

Kenyataannya berdasarkan analisis yang dilakukan hutan tanaman industri dilakukan pada kawasan yang memiliki hutan alam yang masih bertutupan rapat. Harusnya dipertahankan dalam rangka pelestarian ekosistem.

“Untuk itu, yang paling penting saat ini adalah kerja nyata pemerintah untuk melakukan perbaikan tata kelola kehutanan, pada perusahaan hutan tanaman yang kini tengah beraktivitas,” ujarnya

Sedangkan untuk pihak lain yang tengah melakukan pembukaan lahan secara ilegal harus dicarikan solusinya yang tepat, untuk kebaikan ekologi dan tentu juga untuk masyarakat yang sudah terlanjur berada di wilayah itu. Penegakan hukum dan juga resolusi konflik dengan melibatkan mereka dalam skema pengelolaan hutan bisa menjadi solusinya.

Sedangkan untuk pertambangan ilegal, Rudi menyarankan pemerintah segera melakukan revisi tata ruang wilayah dan mengalokasikan kawasan untuk tambang rakyat.

“Mengakomodir tambang rakyat itu penting dilakukan untuk mengatasi masalah PETI, selain itu juga perlu dilakukan dengan kehati-hatian untuk mengakomodir masyarakat setempat, jangan sampai nanti ketika ada kawasan yang dilegalkan untuk pertambangan emas yang bermain adalah para cukong sementara masyarakat setempat hanya sebagai pekerja. Di sini kehatian-hatian pemerintah sangat diperlukan,” katanya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya