'Kalau Tak Ada Rezim Diktator, Tak Ada Reformasi 98'
- Office of the Vice President of the Republic of Indonesia
VIVA.co.id – Salah satu aktivis angkatan 98, Ansy Lema, mengungkapkan alasan munculnya gerakan reformasi 18 tahun yang lalu. Menurut dia, gerakan tersebut terkait erat dengan keberadaan penguasa saat itu.
"Ketika kita bicara Orde Baru, tidak bisa melepaskan dari sosok Soeharto dan gerakan 98 ada karena memang ada diktator Soeharto. Kalau tidak ada rezim totaliter dan diktator Orde Baru, gerakan 98 itu tidak ada," kata Ansy dalam acara Indonesia Lawyers Club, Selasa, 24 Mei 2016, lalu.
Ansy menuturkan, ketika berusia 20 tahun awal, ia di hadapkan pada suatu rezim totaliter, otoriter, yang memimpin secara sangat sentralistik. Kekuasaan Orde Baru seluruhnya dipersonilasisasi ke Soeharto.
"Tidak ada kekuatan yang bisa menyatakan tidak. Karena itu terjadi abuse of power. Itulah kenapa pada 98 kita turun ke jalan. Kalau tidak ada ini ngapain kita? Ini fakta yang tidak bisa kita bantah," ujar Ansy.
Ansy mengungkapkan, sejak mengambil alih kekuasaan Presiden Soekarno pada 1965 sampai lengser pada Mei 1998, Soeharto sudah menimbulkan kontroversi dan perdebatan yang bertahan hingga kini. Selain itu, kata dia, Soeharto juga membuat banyak sekali pembantaian manusia.
"Proses dehumanisasi yang dilakukan militer terhadap anak bangsa," kata dia.
Padahal, Ansy menegaskan bahwa pahlawan adalah mereka yang melakukan proses humanisasi, mengapresiasi harkat dan martabat manusia. Tapi, berdasarkan pengalaman yang dia lihat dan rasakan, terjadi dehumanisasi secara sistematis saat Soeharto berkuasa.
"Sejak awal Orde Baru, kita dengar, kita lihat banyak pembantaian yang terjadi. Generasi 74, 78, 98, yang kritis banyak yang meregang nyawa," tuturnya.
Ansy mengakui ada satu kesalahan yang dilakukan teman-temannya dalam gerakan reformasi yaitu memberikan cek kosong setelah Soeharto lengser dari kekuasaannya. Terlepas dari itu, ia tetap berharap hari ini tidak ada bahaya laten Orde Baru.
Meski di satu sisi, ia tidak heran ketika Partai Golkar mengusulkan mantan Presiden Soeharto sebagai pahlawan nasional. Menurut Ansy, Golkar dengan nafas Orde Baru hari ini memang ada.
"Dan sebenarnya sejak 18 tahun yang lalu aktivis 98, mahasiswa sudah berpikir tentang bahaya laten Orde Baru," demikian pria yang juga seorang dosen FISIP Universitas Nasional Jakarta itu.