Kompensasi untuk Korban Terorisme Perlu Diatur Detail
- ANTARA/Jafkhairi
VIVA.co.id – Para penyintas atau survivor peristiwa terorisme berharap DPR bisa lebih detail dalam mengatur hak kompensasi bagi korban terorisme melalui revisi Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Hak kompensasi yang diminta diatur antara lain kompensasi bantuan medis, psikologis, psiko-sosial dan bantuan kompensasi lainnya.
"Bantuan selama ini bersifat voluntary (sukarela), tidak terencana," jelas Deputi Direktur Aliansi Indonesia Damai (AIDA), Laode Arham di Hotel Ibis Budget, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu, 25 Mei 2016.
AIDA merupakan lembaga swadaya yang menangani korban aksi terorisme.
Laode menambahkan, selama ini kompensasi yang diberikan pada korban sebatas bantuan medis saat mereka dirawat di rumah sakit dan santunan pascaperistiwa. Padahal pada banyak kasus, imbas aksi teror berdampak panjang. Gangguan kesehatan yang dialami korban bahkan berlangsung selama sisa hidup mereka.
"Ada korban yang mengalami pusing setiap hari pasca peristiwa Bom JW Marriot. Bayangkan itu dirasakan selama enam tahun terakhir," jelasnya.
Masukan tersebut akan disampaikan AIDA bersama institusi lain seperti Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi III DPR pekan depan.
Wacana revisi Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sendiri mulai bergulir pascaperistiwa Bom Thamrin. Draf revisi tersebut kemudian dirampungkan dan sudah disampaikan pemerintah ke DPR. Sementara Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Luhut Pandjaitan mengungkapkan ada tujuh poin penting dalam revisi tersebut.
Pertama, mengenai perluasan definisi terorisme dan kekerasan. Kedua, kewenangan polisi untuk bisa menangkap orang yang terlibat dalam jaringan terorisme. Ketiga, mengenai masa penahanan maksimal dalam 30 hari. Namun dalam fase penuntutan, akan ditambah 120 hari masa penahanan sebelum perkara diputuskan.
Keempat, soal penahanan seseorang dengan minimal dua alat bukti tanpa perlu membuktikan keterlibatan dalam aksi teror. Kelima soal deradikalisasi. Keenam, tentang pemisahan sel tahanan khusus narapidana terorisme. Terakhir, soal kewenangan BIN yang dinilai tak perlu ditambah bobotnya.