KPK Selidiki Barter Kontribusi Tambahan Reklamasi Teluk

Aktivitas proyek pembangunan Pulau G kawasan reklamasi Teluk Jakarta.
Sumber :
  • ANTARA/Wahyu Putro A

VIVA.co.id – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah mendalami dugaan barter antara Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKl Jakarta dengan perusahaan pengembang proyek reklamasi Teluk Jakarta terkait kontribusi lahan.

Bos Besar Penggarap Pulau G Diperiksa KPK

Hal ini diungkapkan Wakil Ketua KPK, Laode Muhamad Syarif. Dia tidak menampik bahwa selain melakukan penyidikan dugaan suap menyangkut pembahasan Rencana Peraturan Daerah (Raperda), pihaknya juga melakukan penyelidikan untuk mengembangkan kasus tersebut.

"Perlu saya tegaskan bahwa penyelidikan dan penyidikan yang berhubungan dengan itu sedang berjalan," kata Syarif di kantornya, Selasa 17 Mei 2016.

Usut Reklamasi, KPK Akan Periksa Ahok dan Djarot

Menurut Syarif, ada beberapa penyelidikan yang tengah dilakukan KPK dari hasil pengembangan kasus dugaan suap pembahasan Raperda mengenai reklamasi.

Dia menyebut, salah satu hal yang tengah diselidiki KPK adalah mengenai payung hukum dalam barter terkait kontribusi tambahan lahan tersebut. "Kajian sedang berjalan," ujar Syarif.

Usut Reklamasi Jakarta, KPK Bidik Korporasi

Diberitakan sebelumnya, KPK menduga telah terjadi barter dana kontribusi tambahan antara Pemprov DKl Jakarta dengan perusahaan pengembang reklamasi Teluk Jakarta.

Perusahaan pengembang reklamasi diduga diminta membayar kontribusi tambahan di muka. Salah satunya, dengan membiayai beragam proyek pemerintah. Biaya yang dikeluarkan perusahaan tersebut nantinya akan dikonversi ke dalam tambahan kontribusi 15 persen yang harus dibayarkan.

Sebelumnya, Ketua KPK, Agus Rahardjo menyebut pihaknya tengah menyelidiki dugaan ini. Menurut Agus, salah satu yang tengah ditelisik pihaknya adalah ada tidaknya payung hukum untuk melakukan barter semacam itu. Lantaran sampai saat ini, Raperda tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta yang memuat mengenai tambahan kontribusi 15 persen itu, belum juga disahkan karena pembahasannya mandek.

"Jadi kita sedang menelusuri dasar hukumnya barter apa, ada enggak payung hukumnya. Jadi proses yang sedang berjalanlah, dari situ nanti kita melangkah," ujar Agus.

Untuk diketahui, Gubernur DKl Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok mengakui, adanya perjanjian dengan empat pengembang reklamasi, yakni PT Muara Wisesa, PT Jakarta Propertindo, PT Taman Harapan Indah dan PT Jaladri Kartika Pakci. 

Perjanjiannya adalah perusahaan tersebut membantu Pemprov DKI dalam mengendalikan banjir di kawasan utara Jakarta.

Ahok tidak membantah bahwa perjanjian itu terkait dengan kepentingan para pengembang yang ingin mendapatkan izin pelaksanaan. "Kalau anda mau menyambung (melanjutkan izin), aku minta (kewajiban) tambahan," ujar Ahok di Balai Kota, Jumat, 13 Mei 2016 lalu.

Dasar untuk menarik kontribusi tambahan tersebut kemudian dituangkan dalam suatu perjanjian, mengingat Raperda yang memuat kontribusi tambahan masih belum disahkan.

Ahok telah membenarkan adanya perjanjian tersebut, dengan berlandaskan pada Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995.

Ahok juga membenarkan bahwa PT Agung Podomoro Land, Tbk. (APL) telah menyerahkan dana tambahan kontribusi yang nilainya lebih dari Rp200 miliar.

Tambahan kontribusi itu berupa pembangunan jalan inspeksi di beberapa bantaran kali, pembangunan rumah susun, dan beberapa rumah pompa.

Ahok juga menyebut APL saat ini masih berutang lebih dari Rp100 miliar ke Pemprov DKI.

Menurut Ahok, utangnya berupa tambahan kontribusi yang harus diberikan perusahaan raksasa properti itu atas izin pelaksanaan reklamasi yang diberikan DKI kepada anak perusahaannya, PT. Muara Wisesa Samudera (MWS) untuk proyek reklamasi Pulau G.

Tambahan kontribusi itu diatur dalam Keputusan Gubernur DKI Nomor 2238 Tahun 2014.

Sementara, dalam Perjanjian Kerja Sama (PKS) yang mengiringi diberikannya izin, nilai kontrak tambahan kontribusi APL lebih dari Rp300 miliar.

Ahok mengatakan, semakin lama APL melunasi utangnya, semakin merugi pula perusahaan itu. Hal ini disebabkan nilai aset yang diserahkan semakin lama akan menurun, karena pemerintah menghitung nilai aset dengan metode taksiran (appraisal).

Dengan demikian, bukan tak mungkin APL masih berutang kepada DKI, meski sudah menyerahkan aset yang saat dibangun, dihitung memiliki nilai melunasi utang tambahan kontribusi mereka.

(ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya