Putusan Sidang Etik Kematian Siyono Tak Penuhi Rasa Keadilan
- dokumentasi
VIVA.co.id – Wakil Koordinator Bidang Advokasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Yati Andriyani, menilai sidang etik terhadap anggota Detasemen Khusus Anti Teror Polri (Densus 88) yang memiliki keterkaitan atas meninggalnya terduga teroris Siyono, belum memenuhi rasa keadilan.
"Sangat jauh dari rasa keadilan. Sidang etik ini tidak adil, sama sekali tidak memenuhi hak saksi dan hak korban. Ini masalah nyawa," kata Yati di kantor Kontras, Jakarta Pusat, Senin 16 Mei 2016.
Menurut Yati, sanksi bagi anggota Densus dalam sidang etik dirasa sangat ringan dan tidak menyentuh tindak pidana penganiayaan dan penyiksaan terhadap Siyono. Padahal, seharusnya sebelum sidang etik dilakukan, mestinya proses pidana harus dilakukan terlebih dahulu.
"Tidak ada hubungan, mekanisme etik dengan pidana. Putusannya juga. Permintaan maaf ya ke keluarga korban bukan ke atasan. Ini agar ke depan tidak ada tindakan penghilangan nyawa lagi," katanya.
Sejak awal, lanjut Yati, sidang etik juga digelar tertutup dan tidak dapat diakses publik. Bahkan, majelis etik juga melarang Marso Diyono, ayahanda Siyono didampingi kuasa hukum saat memberi kesaksian di sidang etik tersebut.
Untuk diketahui, Majelis etik Mabes Polri telah menggelar sidang etik terhadap dua anggota Densus 88 yaitu AKBP T dan Ipda H. Hasilnya telah diputus pada Selasa 10 Mei 2016. Dua anggota Densus tersebut dituntut wajib meminta maaf kepada atasannya maupun institusi Polri serta mendapat sanksi demosi, yakni tidak direkomendasikan untuk melanjutkan tugas di Densus 88.
AKBP T akan ditempatkan di satuan kerja selama empat tahun, sementara IPDA H akan ditugaskan di satker lain selama tiga tahun. Namun, tidak dirinci satker mana yang pas untuk dua anggota Densus 88 Antiteror tersebut. Selain itu, Majelis Etik menganggap keduanya hanya melakukan pelanggaran prosedur pengawalan saat melakukan penangkapan terhadap Siyono.
Kejanggalan tentang kematian Siyono sebelumnya coba diungkap Muhammadiyah dan Komnas HAM. Autopsi dilakukan secara independen. Ada empat kesimpulan dari hasil autopsi kematian pria terduga teroris itu.
Pertama, tidak benar bahwa Kepolisian telah melakukan autopsi jenazah Siyono sebelumnya. Autopsi yang dilakukan tim dokter forensik independen adalah autopsi yang pertama. Kedua, tidak betul kematian Siyono akibat pendarahan hebat di kepala. Alasannya, hasil autopsi tidak menunjukkan demikian.
Ketiga, ada pendarahan hebat akibat patah tulang di bagian dada yang menusuk jantung. Terakhir, dari hasil autopsi diketahui pula tidak ditemukan adanya upaya perlawanan yang dilakukan Siyono, meski mendapat kekerasan yang diduga dilakukan anggota Detasemen Khusus (Densus 88) Antiteror Mabes Polri.
Sebelumnya, Siyono, 33 tahun, terduga teroris yang ditangkap di Klaten, Jawa Tengah, meninggal pada Jumat siang, 11 Maret 2016. Tewasnya Siyono menurut Kepolisian karena pria yang berusia 37 tahun itu berusaha melakukan perlawanan terhadap aparat di dalam mobil yang membawanya.