Oknum Intel Polresta Yogyakarta Intimidasi Jurnalis
- Dyah Ayu Pitaloka
VIVA.co.id – Kebebasan pers di Daerah Istimewa Yogyakarta kian mengkhawatirkan. Sepekan setelah aksi pembubaran acara peringatan hari kebebasan pers internasional (WPFD) di sekretariat Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta, intimidasi dan diskriminasi menimpa jurnalis anggota AJI dalam menjalankan tugas liputan.
Ketua AJI Yogyakarta, Anang Zakaria, mengatakan sejumlah anggota AJI Yogyakarta melaporkan adanya beberapa orang yang mengaku sebagai Intel Polresta Yogyakarta yang mencatat pelat nomor sepeda motor jurnalis saat menjalankan tugas liputan. Contohnya, ketika rombongan jurnalis meliput proses pelaporan Gerakan Warga #SelamatkanJogja ke Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Perwakilan Jawa Tengah (Jateng)-Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Rabu 11 Mei 2016.
"Hari itu, Gerakan Warga #SelamatkanJogja melaporkan Kabag Ops Polresta Yogyakarta, Kompol Sigit Haryadi ke ORI Perwakilan Jateng-DIY. Kompol Sigit memimpin pembubaran peringatan Hari Kebebasan Pers Internasional dan mengaku mendapat perintah dari Kapolda DIY Brigjen Pol Prasta Wahyu Hidayat," katanya dikutip dari siaran persnya Kamis 12 Mei 2016.
Sementara sehari setelah peristiwa pembubaran, Rabu 4 Mei 2016 pagi, Brigjen Prasta membantah telah memerintahkan Kompol Sigit untuk membubarkan acara peringatan WPFD 2016.
"Selain merasa terintimidasi karena perilaku petugas kepolisian mencatat nomor plat nomor sepeda motor, para jurnalis juga mendapat sejumlah pertanyaan yang terkait dengan tugas pers ketika akan meminta tanggapan dari kepolisian," ucapnya.
Diceritakannya, beberapa jurnalis anggota AJI Yogyakarta melaporkan mereka mendapatkan pertanyaan "Kamu dari kelompok wartawan yang mana?" sebelum mewawancarai Kapolresta Yogyakarta Kombes Pol Prihartono Eling Lelakon terkait kasus laporan Gerakan Warga #SelamatkanJogja ke ORI Perwakilan Jateng-DIY.
Stigma yang muncul kemudian adalah jurnalis yang mewartakan kasus pembubaran peringatan Hari Kebebasan Pers Internasional di AJI Yogyakarta tidak pro kepolisian.
Intimidasi kepada jurnalis AJI Yogyakarta juga berbentuk kedatangan sejumlah orang yang mengaku intel dari kepolisian maupun tentara secara bergantian datang ke Sekretariat AJI Yogyakarta. Pada jurnalis AJI Yogyakarta yang kebetulan berada di Sekretariat, mereka menanyakan sejumlah informasi tentang AJI, program, hingga peristiwa pembubaran peringatan WPFD pada 3 Mei 2016. Selain itu, mereka juga memotret sekretariat dari berbagai sisi.
"Kedatangan intel tersebut terkesan memata-matai dan mengintimidasi," ujarnya.
Informasi tentang AJI dan programnya pada dasarnya bisa diakses secara terbuka di laman http://aji.or.id. Selain itu, AJI adalah organisasi profesi jurnalis legal.
Negara telah mengakui AJI sebagai Badan Hukum berbentuk Perkumpulan melalui Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor AHU-0000275.AH.01.08 Tahun 2016.
Atas peristiwa-peristiwa tersebut di atas, AJI Yogyakarta menyatakan:
1. Adanya upaya pembungkaman kebebasan berekspresi, berkumpul, dan berpendapat. Padahal, Konstitusi RI telah menjamin hak tersebut dalam Pasal 28F Undang-Undang Dasar 1945. Selain itu, jaminan hak asasi manusia atas kemerdekaan berekspresi diatur dalam Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.
Dua aturan itu berisi hak untuk memperoleh informasi dan hak untuk menyebarluaskan informasi, serta kemerdekaan untuk berekspresi, berpendapat, berkumpul. Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 pun melindungi hak asasi manusia atas kemerdekaan berekspresi, berpendapat, berkumpul.
2. Adanya upaya pembatasan dan pengekangan pers dalam menjalankan tugas. Sensor berita berlangsung dalam bentuk intimidasi dan diskriminasi terhadap jurnalis dalam mendapatkan informasi. Padahal negara telah memberikan jaminan pers dalam menjalankan tugasnya melalui Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
3. Mendesak Dewan Pers dan Pemerintah bertindak tegas menegakkan hukum atas kondisi ini, agar kejadian serupa tidak terus berlanjut dan terulang.