Cagar Budaya Ayahnya Dibongkar, Putra Bung Tomo Lapor Polisi
- VIVA.co.id/Januar Adi Sagita
VIVA.co.id - Bambang Sulastomo, putra pahlawan nasional Sutomo atau lebih dikenal dengan Bung Tomo, melapor kepada polisi atas pembongkaran rumah radio Bung Tomo di Surabaya.
Sulastomo didampingi pengacara senior, Trimoelja D Soerjadi, mendatangi Markas Kepolisian Resor Kota Besar (Polrestabes) Surabaya pada Senin, 9 Mei 2016. Tampak juga menemaninya puluhan orang pencinta sejarah di Surabaya, di antaranya Kuncarsono Prasetyo.
Trimoelja mengaku sangat prihatin dengan pembongkaran rumah radio Bung Tomo itu. Dia mengingatkan bahwa rumah itu adalah cagar budaya yang seharusnya dilindungi. Jika rumah itu dibongkar, maka melanggar Undang Undang Nomor 11 Tahun 2010.
“Di mana ancamannya adalah 15 tahun penjara, dan denda hingga Rp5 miliar,” kata Trimoelja kepada wartawan di Markas Polrestabes Surabaya.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Pemerintah Kota Surabaya, Wiwik Widyati, berjanji menanggapi sikap masyarakat itu. “Saya akan menindaklanjutinya, karena saya memahami bagaimana keresahan masyarakat Surabaya,” ujarnya.
Tindakan bodoh
Sebelum melapor kepada polisi, Trimoelja dan Sulastomo serta puluhan orang berunjuk rasa di depan kantor Gubernur Jawa Timur di Surabaya. Massa mengecam pembongkaran itu karena cagar budaya seharusnya dilindungi dan tidak dirusak.
"Itu adalah tindakan bodoh, rumah bersejarah tempat Bung Tomo berpidato dibongkar. Selain mengabaikan sejarah, juga tidak menghargai perjuangan para pendahulu," kata Kusnan, seorang pengunjuk rasa.
"Selain kecerobohan, ini adalah pengkhianatan gaya baru terhadap nilai-nilai perjuangan," Sulastomo menambahkan.
Trimoelja mengkritik Pemerintah Kota Surabaya yang, menurutnya, lalai menjaga dan melestarikan bangunan cagar budaya. Dia mendesak polisi mengusut hingga tuntas kasus perusakan peninggalan sejarah bangsa itu.
Lahan parkir
Rumah radio Bung Tomo dibongkar oleh sebuah perusahaan pengembang. Lahan itu akan dijadikan tempat parkir sebuah mal. Lahan seluas 15 x 30 meter itu telah rata dengan tanah. Sekelilingnya dipasangi pagar seng setinggi dua meter.
Rumah itu sebelumnya ditempati warga bernama Hurin. Namun, sejak beberapa waktu lalu Hurin telah pindah ke Pondok Nirwana, Surabaya.
Rumah radio di Jalan Mawar Nomor 10, Surabaya, itu adalah cagar budaya karena menjadi tempat Bung Tomo berpidato yang disiarkan lewat radio untuk menggelorakan semangat warga melawan agresi NICA (Pemerintahan Sipil Hindia Belanda).
Seruan Bung Tomo kemudian memicu Pertempuran 10 November 1945, satu pertempuran terbesar dan terberat dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia, yang menjadi simbol nasional atas perlawanan Indonesia terhadap kolonialisme.