Derita PSK Manado Tak Ikut BPJS
- sports.nationalpost.com
VIVA.co.id – Malam itu suasana masih sepi. Jarum jam menunjukkan pukul sembilan malam. AA (28 tahun) duduk di emperan jalan, lokasi dia biasa mangkal di salah satu kawasan cukup ramai di Kota Manado, Sulawesi Utara. Ia tak sendiri, karena ditemani seorang temannya. Mereka berdua saat itu belum didatangi pelanggan. Maklum saja, bukan malam minggu yang biasanya banyak lelaki hidung belang datang mencari mangsa.
Saat didekati, wanita yang sudah lima tahun menjadi Pekerja Seks Komersial (PSK) ini mengaku sedang kesulitan uang. Anaknya yang bungsu sedang sakit. “Kini sedang dirawat di salah satu rumah sakit di Manado. Saya kesulitan uang karena semua biaya saya sendiri yang tanggung karena tidak punya suami. Sekira Rp3 juta uang yang saya butuhkan,” ujarnya.
Uang itu bagi dia sangatlah besar dan sulit diperoleh dalam waktu yang singkat. “Dari mana saya dapatkan uang sebanyak itu,” jawabnya pendek sembari menyebutkan pelanggan juga masih sedikit, Selasa, 3 Mei 2016.
Disinggung kenapa tidak mengurus kartu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, dia tersenyum. Wanita berambut panjang ini mengaku pernah mengurus BPJS karena mendengar dari tetangga sangat membantu untuk berobat, apalagi warga yang kurang mampu. Tapi apa daya, sejak mengurus dari kelurahan sudah kesulitan.
“Diskriminatif karena kami dicap sebagai PSK. Saya bolak-balik mengurus keterangan tinggal karena KTP belum punya, tapi sampai sekarang tidak memperolehnya. Mencoba menemui petugas BPJS Manado tapi tidak bisa karena tak punya KTP,” kata perempuan dua anak ini.
Dia juga berpikir bakal kesulitan jika punya kartu BPJS dari sisi membayar iuran. “Ya, kesulitan juga nantinya membayar iuran per bulan, meski hanya paling kecil Rp25 ribu. Saya menerima uang per bulan tak menentu. Kadang banyak sampai Rp2-4 juta per bulan, saat banyak pelanggan. Jika sepi, ya Rp1 juta pun kadang tak sampai. Bagaimana saya bisa membayar iuran kalau seperti itu. Belum lagi kebutuhan keluarga saya setiap bulan, termasuk biaya sekolah anak saya,” sergahnya.
Tapi dia berkeinginan mengurus kartu BPJS. “Pekerjaan kami yang rentan sakit sangat membutuhkan BPJS. Kalau ada keringanan dari pemerintah, saya berusaha mengurusnya,” paparnya.
Hal senada disampaikan E (40), wanita yang mengaku sudah 20 tahun menjadi PSK. Hampir setiap bulan dia mengaku selalu terserang penyakit. “Saya juga bingung bagaimana sih cara mudah mengurus BPJS Kesehatan. BPJS itu kan sangat membantu,” kata wanita yang terlihat agak kurus.
Wanita satu anak yang datang dari Kepulauan Sangihe ini mengakui di tengah masyarakat nama mereka terlanjur buruk. Imbasnya, kata dia, mengurus jaminan kesehatan saja sulitnya minta ampun.
“Saya punya pengalaman buruk ketika sakit. Tahun lalu, saudara saya mengurus Universal Coverage atau Jamkesda agar tidak keluar biaya perawatan di rumah sakit. Tapi kepala lingkungan tidak memberikan rekomendasi untuk dibawa ke Puskesmas, dengan alasan saya seorang PSK yang sudah tertular HIV. Padahal sampai sekarang tidak terkena HIV,” ujarnya mengingat peristiwa itu.
Dia berharap pemerintah bisa memfasilitasi memberi pelatihan, sehingga berhenti dari pekerjaan selama ini. “Saya sudah lelah dengan pekerjaan ini. Tapi saya tidak punya keahlian membuka usaha atau apa saja yang penting halal. Kalau ada pekerjaan lain, saya ingin berhenti sebagai PSK,” tuturnya.
Ribuan PSK
Jones Oroh dari Komisi Penanggulangan AIDS Sulawesi Utara mengatakan, data PSK di Manado cukup besar dan mereka sangat rentan terkena berbagai penyakit, termasuk HIV-AIDS. Lihat saja datanya tahun 2012, PSK yang berinteraksi langsung yakni 831 orang.
“PSK langsung ini adalah mereka yang menjual seks sebagai mata pencaharian atau sumber penghasilan utama. Biasanya berbasis di rumah bordil atau lokalisasi atau bekerja di jalanan,” ujarnya.
PSK langsung ini paling tinggi berada di Kecamatan Wenang mencapai 560 orang, disusul Malalayang 100 orang dan Wanea 40 orang. Sedangkan kecamatan yang lain hanya sekira 20-an PSK saja. “Wenang adalah pusat Kota di Manado sehingga wajar PSK cukup banyak,” tuturnya.
Kemudian ia menyebutkan, ada juga PSK tidak langsung, yang bekerja di tempat-tempat bisnis hiburan malam seperti bar, karaoke, salon atau panti pijat dan mahasiswa. Datanya, kata dia, lebih mencengangkan lagi, yakni mencapai 1.190 orang. Paling tinggi di Kecamatan Wenang 621 orang, disusul Sario (255 orang) dan Wanea (106 orang).
“Kami masih mendata lagi, kemungkinan 2016 ini lebih meningkat. Nah, bayangkan saja mereka yang berisiko terserang penyakit kemudian tidak memiliki BPJS Kesehatan. Sebaiknya, mereka diberi kemudahan untuk mengurusnya,” kata Pengelola Program KPA Sulut ini.
PSK juga manusia
Timbul Siregar dari BPJS Watch mengatakan, PSK masuk kategori orang yang kurang mampu. Dinas Sosial dan Dinas Kesehatan, kata dia, bisa memfasilitasi mereka ikut mendaftar jadi peserta BPJS. “BPJS masuk kategori kurang mampu karena pendapatan mereka fluktuatif. Kadang banyak malah kadang bisa kurang. Dinas Sosial harus merekomendasikan mereka untuk mendaftar jadi anggota BPJS,” katanya.
Ia menambahkan, sesuai undang-undang jaminan sosial yang dibuat pemerintah adalah untuk seluruh masyarakat Indonesia, baik yang kaya maupun miskin, pejabat, pengusaha maupun kaum marjinal seperti PSK.
“Jadi tidak boleh ada diskriminasi bagi siapa pun dalam mengurus BPJS, termasuk PSK. Ingat penyelenggaraan Sistim Jaminan Sosial Nasional (SJSN) berlandaskan kepada hak asasi manusia dan hak konstitusional setiap orang. UUD Tahun 1945 Pasal 28H ayat (3) menetapkan ‘Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermanfaat’. Dan ini juga wujud tanggungjawab Negara dalam pembangunan perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial,” imbuh pengacara ini.
Pemerintah Kota Manado sejak 2013 telah melaksanakan program layanan kesehatan gratis atau Universal Coverage namanya. Program ini sama seperti daerah lain yakni Jamkesda. Pemkot Manado belum beralih ke BPJS.
“Siapa pun dia yang penting memiliki KTP Manado pasti terlayani. Kalau PSK punya KTP saya yakin bisa berobat gratis di rumah sakit yang ada di Manado. Persoalannya kalau PSK itu tak punya KTP atau keterangan sebagai warga Manado,” ujar Kepala Dinas Kesehatan Manado, dr Robby Mottoh.
Bahkan tahun 2016 ini, Pemkot Manado menganggarkan layanan program ini sekira Rp13 miliar dari APBD. Pemkot Manado bekerjasama dengan tujuh rumah sakit, yakni RS Islam Siti Maryam; RS Advent Manado; RS Ratumbuysang; RS Pancaran Kasih Manado; RS Bhayangkara Tingkat IV Manado; Balai Kesehatan Mata Masyarakat Manado (BKMM); dan RSUP Prof Kandou Manado. Tujuh rumah sakit itu dikatakan siap memberikan pelayanan kepada masyarakat.
“Silakan lapor kepada kami kalau ada masyarakat yang dapat perlakuan diskriminasi untuk mendapatkan pelayanan kesehatan,” kata Robby.
Iriani Sandinganeng, Kepala Departemen Kepesertaan dan Pemasaran Divisi Regional X BPJS Kesehatan ikut prihatin dengan masih adanya diskriminasi dalam mengurus BPJS Kesehatan, seperti yang dialami PSK.
“Saya berjanji kalau PSK ingin mengurus BPJS, akan diinstruksikan kepada petugas membantu dan mempermudah. Kasihan PSK juga manusia yang perlu mendapat perlakuan yang sama dengan warga lainnya. Ingat seluruh masyarakat Indonesia berhak memiliki kartu BPJS termasuk para PSK selama mengikuti ketentuan yang berlaku,” kata Iriani.