Menkumham: Napi Narkoba Tanpa Remisi Ibarat Api dalam Sekam
- VIVA.co.id/Muhamad Solihin
VIVA.co.id - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), Yasonna Hamonangan Laoly, menilai aturan tentang pengetatan pemberian remisi, terutama bagi narapidana kasus narkoba, memicu permasalahan yang lebih besar. Napi kasus narkoba seolah tak memiliki harapan untuk bebas meski telah berkelakuan baik di dalam lembaga pemasyarakatan (lapas).
Napi yang merasa tak memiliki harapan untuk bebas menjadi berperilaku liar dan berpotensi memicu kerusuhan, seperti yang terjadi di Lapas Banceuy, Bandung, Jawa Barat, pada Sabtu, 23 April 2016.
“Napi kita itu seperti api dalam sekam, khususnya (napi kasus) narkoba ini, yang tidak dapat remisi,” kata Menteri dalam konferensi pers di Jakarta pada Minggu, 24 April 2016.
Menteri mengakui bahwa peraturan itu menimbulkan permasalahan baru. Napi kasus narkoba yang telah berkelakuan baik dan bahkan berprestasi, merasa tak dihargai. Padahal tidak sedikit mereka yang benar-benar bertobat, bahkan berprestasi, misalnya, berwirausaha sebagai hasil pelatihan selama berada di lapas.
Peraturan itu akan direvisi untuk membuka kesempatan bagi para napi yang telah bertobat untuk kembali menjadi bagian dari masyarakat. Kalau tidak direvisi, peristiwa kerusuhan seperti di Lapas Banceuy akan terus berulang.
“Saat orang kehilangan harapan, dia bisa jadi liar. Ini yang harus dievaluasi. Ini akan kita kaji,” ujar Menteri.
Peraturan
Perihal itu pemberian remisi itu diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang perubahan kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Peraturan itu sebenarnya mengatur pemberian remisi kepada napi kasus terorisme, narkotik, korupsi, kejahatan keamanan negara, kejahatan HAM, dan kejahatan transnasional.
Dalam Pasal 34 pada Peraturan Pemerintah itu disebutkan: “Pemberian remisi bagi narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan prekusor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, selain harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 juga harus memenuhi persyaratan:
a. Bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya;
b. Telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan untuk narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana korupsi; dan
c. Telah mengikuti program deradikalisasi yang diselenggarakan oleh Lapas dan/atau Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, serta menyatakan ikrar:
1) Kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia secara tertulis bagi narapidana warga negara Indonesia, atau
2) Tidak akan mengulangi perbuatan tindak pidana terorisme secara tertulis bagi narapidana warga negara asing, yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme.
(2) Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku terhadap narapidana yang dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun.
(ren)