Usut Pengemplang Pajak, RI Harus Tindaklanjuti Panama Papers
- www.commondreams.org
VIVA.co.id – Bocornya dokumen Panama Papers yang turut menyeret sejumlah nama pejabat dan pengusaha asal Indonesia terus menggelinding bak bola salju. Belakangan muncul desakan agar aparat penegak hukum dan Dirjen Pajak menindaklanjuti data tersebut.
Menurut Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK, Sudjanarko, bocoran nama tersebut harus ditindaklanjuti penegak hukum untuk mencocokkan data pelaporan pajak dan kekayaan dari daftar orang Indonesia yang disebutkan dalam dokumen itu.
"Ketua BPK ada di dalam daftar Panama Papers dan apalagi sampai sekarang tidak lapor LHKPN," kata Sudjanarko dalam seminar 'Panama Papers: Pengelapan Pajak, Pencuaian Uang dan Korupsi serta Dampaknya Bagi Perekonomian Indonesia' di Kampus UGM, Jumat, 22 April 2016.
Dalam dokumen tersebut terdapat 4,8 juta email yang melibatkan 2.961 nama orang Indonesia. Sudjanarko menilai, aparat penegak hukum di Indonesia harus mengusut dokumen tersebut untuk mengklarifikasi kebenarannya.
"Kalau di dalam negeri tidak mengusut, sangat sulit apabila kita meminta bantuan negara luar untuk membantu," ujarnya menambahkan.
Berdasarkan pengalaman KPK sejak tahun 2004, aktif membantu lembaga anti korupsi negara lain untuk menangkap koruptornya yang ada di Indonesia. "Makanya saat kita memburu koruptor, ada 11 negara ikut membantu sebagai volunteer," ujarnya menerangkan.
Namun Sudjanarko menyayangkan apabila dokumen Panama Papers tidak diusut tuntas, maka negara luar akan enggan membantu. Pasalnya, data tersebut menyebutkan adanya upaya penggelapan pajak dan pencucuian uang yang dilakukan pengusaha Indonesia. Ia pun tak menyangsikan kebenaran data tersebut.
Sebagai contohnya, salah satu tersangka korupsi Alat Kesehatan Kota Tanggerang Selatan, Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan yang menjadi tersangka di KPK. Diketahui, adik mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah itu memiliki koleksi banyak mobil mewah, namun SPT tahunan hanya Rp3 juta.
"Wawan yang ditangkap KPK SPT tahunannya hanya Rp3 juta, bisa jadi lebih kecil dari pajak warteg," tegasnya.
Sementara itu, anggota Kantor Staf Kepresidenan, Bimo Wijayanto, mengatakan data dari Panama Papers masih perlu dibuktikan tingkat kebenarannya agar bisa dijadikan alat bukti mengusut kasus penggelapan pajak. "Memang tahap sangat panjang, namun adminitrasi perpajakan harus advance," kata Bimo.
Untuk sementara ini, Pemerintah Indonesia belum memiliki perjanjian kerja sama dengan tax treaty (perjanjian perpajakan) antara Indonesia dan Panama.
"Kita perlu mendorong perjanjian kerja sama Indonesia dan Panama. Yang bisa diajukan paling dekat adalah melihat tax amnesti sebagai pintu masuk," ujar dia.
(mus)