Barang Sitaan Sering Disalahgunakan, RI Perlu Aturan Ketat
- VIVAnews/Anhar Rizki Affandi
VIVA.co.id – Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai pemerintah perlu menata kembali pengelolaan benda sitaan dan aset kejahatan, dengan mendorong terbentuknya Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengelolaan Aset Kejahatan yang komprehensif.
Direktur Eksekutif ICJR, Supriyadi W. Eddyono, menilai sudah saatnya Pemerintah Jokowi mengatur ulang pengelolaan benda sitaan dan aset kejahatan.
"Problem pengelolaan aset kejahatan menjadi mengemuka ketika beberapa oknum penegak hukum ditengarai mengambil keuntungan atas benda-benda sitaan, dan mengambil alih manajemen benda sitaan sesuai dengan keinginannya masing-masing," kata Supriyadi dalam keterangan tertulisnya, Selasa 19 April 2016.
Dia menilai, tindakan ini merupakan persoalan lama yang seolah-olah dibiarkan terjadi, karena banyak oknum diuntungkan dengan kondisi ini. Oleh karena itu, pemerintah perlu menanggapi dengan melakukan reformasi tata kelola aset kejahatan di Indonesia.
"Ada beberapa persoalan kunci mengenai tata kelola aset kejahatan saat ini, yakni pertama, pengaturan yang lemah, di mana pengelolaan benda sitaan dan aset kejahatan tidak dijalankan satu pintu," ujar Supriyadi.
Setiap institusi merasa berhak mengatur sendiri manajemen dan eksekusi hasil sitaan. Sanksi yang minim dan pengawasan melempem semakin memperparah keadaan. Dalam konteks ini, menurutnya, benda sitaan dan aset kejahatan juga rentan dikorupsi.
Selain itu, walaupun secara resmi ada lembaga Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan) yang berwenang mengelola benda sitaan. Namun, lembaga ini kekurangan sumber daya, minim anggaran dan hanya ada sedikit unit penyimpanan benda sitaan.
"Jabatan Kepala Rupbasan hanya setingkat Lurah. Jumlah Rupbasan yang ada sekitar 63 di seluruh Indonesia, sudah pasti kalah jumlah dibandingkan jumlah Kejaksaan dan Polres," jelasnya.
Kemudian, akibat tidak dijalankannya operasional satu pintu, maka tidak ada data resmi mengenai jumlah benda sitaan, maupun aset kejahatan secara keseluruhan. Akibatnya, tidak akan pernah ada proyeksi aset kejahatan yang bisa dirampas Negara secara maksimal.
Terakhir, lemahnya pengelolaan benda sitaan dan aset kejahatan, mengakibatkan rusaknya nilai benda tersebut, sehingga muncul masalah baru mengenai cara melelangnya. "Di samping itu, eksekusi perampasan Negara atas benda sitaan dan aset kejahatan tersebut umumnya dinilai terlalu rendah, sehingga proyeksi pendapat Negara tidak maksimal," tutur Supriyadi.
Supriyadi berharap pemerintah tidak berhenti pada rencana mempersiapkan Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) mengenai pelelangan benda sitaan. Pemerintah juga harus mendorong tata kelola aset kejahatan yang lebih komprehensif di masa depan. "Persoalan lelang benda sitaan hanyalah masalah kecil di dalam tata kelola aset kejahatan di Indonesia."