Merekam Kehidupan Lewat Fotografer 'Kampung'
- VIVA.co.id/Harry Siswoyo
VIVA.co.id – Mata Juliadi (27) berbinar-binar saat bercerita soal keberhasilannya memotret sarang lebah berukuran besar di sebuah hutan bakau. "Saya nekat memanjat pohon setinggi 10 meter demi foto ini," ujarnya sembari menunjukkan foto sarang lebah madu berukuran besar.
"Sebelum memfoto, saya sudah perhitungkan. Kalau seandainya lebah ini mengamuk, maka saya akan loncat ke sungai," ujar Juliadi bersemangat sekaligus memperagakan bagaimana perjuangannya mendekati kawanan serangga yang bisa mematikan tersebut.
Dua tahun silam, Juliadi hanyalah nelayan biasa. Kesehariannya hanya mencari ikan di pantai atau berburu kepiting di kawasan hutan bakau di Dusun Tanjung Nibung, Kabupaten Kayong Utara, Kalimantan Barat.
Namun setahun ke belakang, sejak ia dibekali kamera atas partisipasinya dalam program Panda Click yang digagas oleh WWF, Juliadi mengaku menjadi berbeda. Ia merasa lebih termotivasi bekerja dan keranjingan memotret apa pun.
FOTO: Juliadi (27) menunjukkan salah satu karya fotonya, Bekantan ( Nasalis larvatus)
Ya, Juliadi adalah peserta program binaan WWF Indonesia-Kalimantan Barat untuk Panda Click, yakni sebuah program yang merekam kehidupan masyarakat lewat foto yang dihasilkan atau dijepret langsung oleh warga yang dipilih.
"Awalnya saya cuma pingin tahu saja bagaimana mengambil foto. Tapi, kemudian lama-lama asyik juga," kata Juliadi usai pameran foto bersama 31 karya fotografer Panda Click, pekan lalu di Kecamatan Batu Ampar Kabupaten Kubu Raya.
Tak Perlu Rapi
Semangat Juliadi juga dirasakan oleh Muliadi (48). Pemburu kepiting bakau ini juga keranjingan memotret. Tak peduli apa pun objeknya, potret demi potret mengalir begitu saja di tangannya.
"Sehari saya bisa ambil puluhan foto. Pokoknya foto apa saja," ujarnya seraya tersenyum.
Pria yang hanya bisa menamatkan sekolah dasar ini mengaku, memotret baginya seperti merekam setiap detik kehidupan dirinya sekaligus aktivitas warga desanya.
Sebab itu, dengan bermodal percaya diri dan kamera yang dipinjamkan oleh WWF, Muliadi selalu menyelipkan kameranya di dalam tas setiap melaut atau ke mana pun.
"Enak pegang kamera ini. Tak perlu pakaian rapi, bisa foto-foto. Ada pesut saya foto, bekantan juga, pokoknya semua yang saya lihat unik di depan mata," kata Muliadi bersemangat.
FOTO: Muliadi (48), bersama salah satu karyanya, Kepiting Bakau berukuran besar. Nelayan ini mengaku gembira bisa mengabadikan apa pun lewat foto.
Ya, berkat kamera, Juliadi, Muliadi, dan 29 fotografer “kampung” disadari atau tidak telah membuat perubahan. Selain mampu mendokumentasikan keseharian mereka, kini mereka jadi lebih percaya diri untuk bercengkerama dengan orang luar.
"Lewat foto kami berharap desa kami diperhatikan. Jadi orang luar tahu bagaimana kehidupan kami," tutur Jono, fotografer Panda Click lainnya.
Foto Bersuara
Manajer Program WWF Kalimantan Barat Albertus Tjiu menyebutkan, program Panda Click sebagai bentuk modifikasi dari program Foto Voices di China. Dalam praktiknya, setiap warga yang terpilih akan dilatih selama dua pekan dan dipinjamkan kamera selama setahun.
"Kami cuma ingin membantu masyarakat yang tidak terjangkau pemerintah. Nantinya biar foto yang bercerita," kata Albertus.
Terkhusus di Kabupaten Kubu Raya, sejak Mei 2014 hingga Mei 2015, program Panda Click melahirkan 31 orang fotografer dari lima desa sasaran program yakni Desa Batu Ampar, Nipah Panjang, Padang Tikar, Teluk Nibung, dan Sungai Kerawang.
Dalam proses pendampingan, setiap tiga bulan sekali, seluruh karya fotografer akan dievaluasi dan digali kendala yang dihadapi oleh para fotografer.
"Kami menerapkan ada tiga tema yang menjadi fokus, culture, nature, dan adventure. Dan hasilnya benar-benar luar biasa, ada 20 ribu foto yang dihasilkan," kata Albertus.
FOTO: Manager Program WWF Kalimantan Barat Albertus Tjiu dan Camat Batu Ampar Supriady menyaksikan pameran foto Panda Click, Selasa (12/4/2016)
Pantauan VIVA.co.id, dari 20 karya fotografer yang dipajang, harus diakui hasilnya memang mengagumkan. Hampir seluruh objek foto, murni hasilkan dari keseharian warga.
Begitu dekatnya emosional antara objek dan subjek foto, semakin mempertegas pesan yang ingin ditampilkan oleh fotografer. Sebab itu, tak berlebihan rasanya kalau foto-foto itu dinilai sebanding dengan karya fotografer profesional.
Maklum, lewat tangan fotografer “kampung” yang tak memiliki bekal mumpuni di bidang fotografi, Juliadi, Muliadi dan warga desa lain di pelosok Kalimantan, kini berhasil menggugah dan menyuarakan hidup serta perjuangan mereka ke mata orang lain. "Ini mengagumkan dan benar-benar menggugah," kata Camat Batu Ampar Supriady.