Menkopolhukam: Tragedi 1965 Jangan Sampai Terulang Lagi
- VIVA.co.id/Anhar Rizki Affandi
VIVA.co.id - Pemerintah kembali membicarakan langkah rekonsiliasi korban tragedi 1965. Usai peristiwa Gerakan 30 September 1965 atau juga dikenal sebagai Gerakan Satu Oktober, ratusan ribu bahkan jutaan anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia dan juga pendukung Soekarno diduga menjadi korban pembunuhan massal.
"Pemerintah ingin menuntaskan semua pelanggaran HAM. Baik yang ada di sini (peristiwa G30S-1965), maupun Papua atau tempat lain. Kita ingin sebagai bangsa yang besar menyelesaikan masalah kita," kata Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Hak Asasi Manusia Luhut Binsar Pandjaitan dalam acara Simposium Nasional "Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan", di Hotel Aryaduta, Jakarta, Senin, 18 April 2016.
Meski pun demikian, Luhut juga menegaskan bahwa negara tidak akan meminta maaf terkait tragedi tersebut. Sebab, banyak kesimpangsiuran sejarah dan siapa yang menjadi korban dari peristiwa yang merenggut banyak korban itu.
"Pemerintah tidak pernah terpikir akan minta maaf. Mau minta maaf kepada siapa? Korban mana?" ujarnya.
Luhut menjelaskan jika langkah rekonsiliasi ini disusun agar tidak menjadi beban sejarah bagi generasi mendatang.
"Mungkin boarding-nya akan datang, penyelesaian mendalam terhadap peristiwa lalu yang jadi sejarah kelam bangsa ini, dan kita berharap ini tak terulang lagi di masa mendatang," kata dia.
Peristiwa G30S-1965 adalah suatu operasi militer yang dilakukan oleh sejumlah prajurit TNI AD dan dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung, Komandan Batalyon I Kawal Kehormatan Cakrabirawa, pasukan pengawal Presiden Soekarno ketika itu.
Akibat aksi ini, jatuh korban jiwa dari kalangan petinggi TNI AD yaitu setidaknya antara lain Letjen TNI Ahmad Yani, Mayjen TNI Raden Suprapto, Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono, Mayjen TNI Siswondo Parman, Brigjen TNI Donald Isaac Panjaitan, Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo, dan Lettu Pierre Andreas Tendean.
Segera setelah operasi dilakukan, Mayor Jenderal Soeharto yang menjabat sebagai Panglima Kostrad mengambil alih komando Angkatan Darat. Soeharto lalu menuduh PKI sebagai dalang di balik gerakan tersebut dan memukul balik pasukan pendukung G30S.
Pada waktu-waktu berikutnya, sepanjang tahun 1965-1966, diduga terjadi aksi pembunuhan massal terhadap massa anggota dan simpatisan PKI di seluruh wilayah Indonesia. Hingga kini, persoalan tersebut masih menjadi kontroversi dan belum terselesaikan.