Pengelola Pesantren di Malang Tersangka Kasus Pencabulan

Ilustrasi korban pelecehan seksual.
Sumber :
  • Reuters

VIVA.co.id – Warga jalan Tirto, Desa Pagedangan, Kecamatan Turen, Kabupaten Malang, Jawa Timur, berinisial CH (55) menjadi tersangka pencabulan terhadap empat siswi Yayasan Panti Asuhan dan Pondok Pesantren Al Ikhlas. 

Deretan Nama Agus yang Bikin Heboh Media Sosial, Terbaru Agus Guru Les Cabuli Murid

Padahal, CH adalah pengelola di panti asuhan dan pondok pesantren tersebut. Demikian ungkap Kepolisian Resor Malang.

Kejadian ini terbongkar setelah warga menangkap CH pada 30 Maret 2016. Saat itu, CH langsung diamankan di Polres Malang dan kemudian ditetapkan sebagai tersangka, melanggar pasal 82 Undang-Undang tentang Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman penjara maksimal 15 tahun.

Edan! Pria Biadab Ini Tega Cabuli 11 Bocah SD di Surabaya dan Sidoarjo

Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (UPPA) Polres Malang, Iptu Sutiyo, mengatakan aparat telah mengantongi cukup bukti untuk menetapkan CH sebagai tersangka pelaku pencabulan. 

“Buktinya dari keterangan empat korban, saksi lain dan pengakuan tersangka sendiri. Sesuai pasal 184 KUHAP keterangan saksi dan pengakuan tersangka yang berkesuaian sudah memenuhi unsur sebagai alat bukti,” kata Iptu Sutiyo, di kantornya, Selasa 12 April 2016.

Iming-imingi Uang, Warga Pontianak Cabuli Adik Tiri Lalu Sembunyi di Kandang Babi

Pencabulan tersebut diduga berlangsung sejak 2012 sampai awal 2016. Setidaknya ada empat korban berusia 15 hingga 19 tahun. IN, salah satu korban pencabulan, menyebut CH telah berkali-kali mencabulinya, sejak dia masih duduk di bangku SD hingga kelas 9 di tahun 2015. Di ruangan CH yang terkunci itu, dia kemudian meraba-raba tubuh IN. 

“Pak CH itu guru ngaji membaca Al Quran. Kalau mau digitukan (dicabuli), sering dipanggil keruangannya. Mulai dari diminta membersihkan ruangan, diminta membawa Al Quran, tapi kemudian digitukan," kata IN yang kini berusia 16 tahun.

Tindakan terparah berlangsung akhir 2015. Ketika itu, IN sedang sakit dan CH memijat tubuhnya. “Tangannya masuk ke dalam kemeja saya, dan waktu itu mau masuk ke dalam rok saya. Saya menangis karena takut. Besoknya saya keluar dari pondok karena takut,” cerita IN.

IN yang tinggal satu desa dengan pondok pesantren tersebut tak berani melaporkan tindakan cabul itu, lantaran CH selalu mengancam. Dia mengingatkan ada empat kawannya yang juga menerima perlakuan sama. 

Diantara temannya itu, ada yang diminta mencari video porno dan kemudian dipaksa mempraktikkannya sambil direkam pelaku. 

“Saya diminta menulis surat perjanjian, isinya tak boleh lapor ke siapapun. Kalau saya lapor nanti saya akan celaka, bisa ditabrak truk atau kecelakaan yang lain. Teman yang lain ada yang diminta janji di atas Al Quran, ada pula yang bikin perjanjian bermaterai,” ungkap IN.

Bahkan, setelah keluar dari pondok akhir 2015 lalu, IN tak segera melaporkan tindakan CH pada ibunya. IN baru mengaku setelah satu temannya kabur dari pondok lantaran takut diperkosa CH. 

“Teman saya itu kabur dari pondok, baru warga di sini geger dan saya akhirnya cerita ke orang tua saya. Kemudian saya juga diperiksa polisi seminggu yang lalu,” katanya.

IN berharap CH mengakui semua kesalahan yang dilakukannya dan tidak mengulangi perbuatan itu. IN sendiri mengaku telah memaafkan CH dan tak mau memikirkan perbuatannya lagi. “Saya tak pernah cerita, jika teman saya itu tidak kabur dan warga tidak mendengar, saya tidak akan cerita,” imbuh dia. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya