Cara Organisasi Teroris Rekrut Pemuda Galau
- VIVA.co.id/ Fajar Ginanjar Mukti
VIVA.co.id – Deputi Penindakan dan Pembinaan Kemampuan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Irjen Pol Arief Dharmawan mengatakan, pemimpin organisasi teroris yang merupakan alumni dari pelatihan di Afghanistan dan Moro, Filipina, menggunakan kemajuan teknologi untuk menyebarkan ideologi radikal.
Para pimpinan atau 'imam' yang berdatangan ke Indonesia pada tahun 2001 hingga 2013 memandang media sosial di internet merupakan saluran efektif untuk merekrut para pemuda agar mengikuti jaringannya. Pemuda yang baru menginjak usia dewasa dan kebingungan dengan perubahan dalam hidup mereka dianggap menjadi sasaran empuk. Â
"Awalnya bagus. Pemuda yang galau, yang baru putus dari pacar, sampai yang bingung bayar SPP, melalui media sosial diajak mengikuti ajaran Islam. Yuk salat, yuk mengaji," ujar Arief dalam Pengajian Bulanan Muhammadiyah bertema Pemberantasan Terorisme yang Pancasilais dan Komprehensif di Pusat Dakwah Muhammadiyah, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat 8 April 2016.
Arief mengatakan para pemimpin teroris memiliki strategi yang jitu untuk membuat para pemuda didekati merasa memiliki keterikatan. Setelah cukup sering berinteraksi di media sosial, para pemuda akan diajak untuk bertemu dan melakukan pengajian bersama.
"Pada saat bertemu, ajaran yang diberikan masih bagus. Setelah pertemuan selesai, biasanya masih ada yang penasaran. Mereka (pemuda yang direkrut dan imam) mengobrol. Pada saat itulah mereka didoktrin. Jadi pemuda-pemuda yang galau, kalau sampai direkrut suatu hari mereka bisa jadi pengantin (sebutan untuk pembom bunuh diri)," tambahnya.
Lebih lanjut kata dia, lembaganya mencatat tindakan terorisme di Indonesia pada dasarnya bisa dibagi menjadi dua tipe. Tipe pertama adalah separatisme adalah tindakan terorisme yang dilakukan karena organisasi teroris ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Tipe kedua adalah terorisme berbasis ideologi. Berbeda dengan separatisme, tipe terorisme ini tidak terpaku pada satu daerah tertentu. Mereka ingin ideologi ekstrem yang mereka anut diikuti oleh semua orang.
"Yang kedua ini, ingin mengganti ideologi negara. Kalau di masa lalu, contohnya PKI, DI/TII. Sampai saat ini, terorisme dengan berbasis ideologi ini yang masih sering terjadi," kata dia.