Proyek PLTU Batang Dituding Caplok 12,5 Hektar Tanah Warga
- ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
VIVA.co.id – Sejak 24 Maret 2016 lalu, konsorsium PT. Bhimasena Power Indonesia (BPI) memagari lahan yang menjadi lokasi proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batang, Jawa Tengah. Tindakan ini menutup akses warga terhadap lahan pertanian mereka.Â
Padahal, menurut organisasi lingkungan hidup Greenpeace, dari  lahan seluas 226 hektar, sesuai rencana kebutuhan pembangunan PLTU Batang, ada 12,5 hektar tanah warga yang masih dalam sengketa, dan kasusnya sedang diselesaikan di pengadilan.
"Yang di dalamnya pagar sekitar 12,5 hektar. Jadi luas yang dicaplok 12,5 hektar. Tapi kalau versi masyarakat 19,5 hektar," kata Juru kampanye Energi Greenpeace Indonesia, Desriko Malayu Putra, di kantor Greenpeace Indonesia, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Kamis 7 April 2016.
Desriko menjelaskan, akibat pemasangan pagar ini, warga terdampak tidak lagi bisa menggarap lahan pertaniannya. "Lahan yang masuk peta yang dipakai perusahaan, hitungan kami warganya lebih dari 67 KK pemilik tanah 12,5 hektar itu," ujarnya menambahkan.
Akibat pencaplokan tersebut, warga di lima desa yang menjadi korban perampasan tanah, yakni desa Ujungnegoro, Karanggeneng, Ponowareng, Wonokerso, dan Roban, mendirikan posko dekat lahan yang menjadi sengketa, dan menuntut PT BPI mengembalikan lahan pertanian mereka.Â
"Warga buat posko dekat dengan lahan yang akan dibangun proyek PLTU Batang. Posko itu menjadi tempat komunikasi penolakan, diskusi dan lain sebagainya," kata dia.
Pada kesempatan ini, salah satu kuasa hukum warga Batang, Judianto Simanjuntak menjelaskan, adanya informasi bahwa pagi ini, posko warga itu sudah dibongkar keamanan PT BPI dan aparat Kepolisian.
"Pagi tadi posko diacak-acak polisi dan Satpam PT BPI. Belum tahu ada korban. Inilah bentuk kebrutalan akibat pencapaian tenggat waktu jual beli perusahaan, mereka sedang tertekan sendiri," ungkap Judianto.
Untuk diketahui, hingga saat ini, sebagian pemilik lahan menolak menjual lahan mereka untuk pembangunan PLTU. Sekitar 10% dari total 226 hektar lahan yang dibutuhkan proyek ini tetap dipertahankan warga, karena menjadi lahan pertanian produktif dan merupakan satu-satunya sumber mata pencaharian mereka.
(mus)