Firasat Buruk Ibu Kapten Kapal yang Disandera Abu Sayyaf

Ayah dan ibu Peter Tonsen Barahama, kapten kapal yang disandera milisi Abu Sayyaf, ditemui di Manado, Sulawesi Utara, pada Rabu, 30 Maret 2016.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Agustinus Hari
VIVA.co.id - Charlos Barahama (64) dan Sopitje Salemburung (60 tahun), orangtua kapten kapal Tugboat Brahma 12, Peter Tonsen Barahama, tampak sedih dan lelah saat ditemui VIVA.co.id di rumahnya pada Rabu, 30 Maret 2016.
 
Maklum saja dua hari terakhir mereka terus didatangi wartawan untuk mengetahui kondisi terakhir Peter. Mereka ditemui di rumah kakak dari mama Peter, di Lorong Cempaka, Kelurahan Bailang, Kecamatan Tuminting, Manado, Sulawesi Utara.
 
Perasaan luka dan sedih mendalam terpancar dari keduanya. Putra bungsu mereka yang sedang mengadu nasib sebagai kapten kapal batubara, kini menjadi korban pembajakan dan penyanderaan kelompok pembajak asal Filipina Selatan, Abu Sayyaf, pada Sabtu, 26 Maret 2016.
 
Ayah Peter, Charlos, yang pensiunan guru itu, mengatakan soal anaknya dibebaskan atau tidak, semua sudah diatur Tuhan. "Saya yakin Tuhan telah mengaturnya. Tapi saya berharap anak saya dibebaskan dalam keadaan selamat," ujarnya, sesekali mengusap air matanya.
 
Amankan Laut Sulu, Tiga Negara Sepakat Kerja Sama
Charlos mengatakan, sebelum kejadian itu ia mempunyai firasat tidak baik. Bahkan ia mengalami demam tinggi.
 
Upaya Pemerintah Bebaskan WNI yang Ditawan Abu Sayyaf
“Istri saya juga tidak bisa tidur karena mempunyai firasat yang sama. Waktu itu, kami berbincang-bincang pasti terjadi sesuatu di antara ketiga anak kami. Firasat itu tepat pada hari kejadian kapal disandera pembajak," ujarnya.
 
Bebaskan Sandera Abu Sayyaf, Pemerintah Pilih Diplomasi
Keesokan harinya mereka mendapat kabar dari anak tertua, Sam Barahama, yang menyebutkan bahwa Peter disandera Abu Sayyaf. "Juga mendapat kabar dari perusahaan kalau Peter menjadi salah satu korban pembajakan.”
 
Ia mengaku sangat terpukul atas berita itu. Soalnya Peter adalah anak bungsu yang paling dimanjakan dan disayangi seluruh anggota keluarga. Peter diceritakan ibunya sempat menelepon pada 24 Maret 2016 atau dua hari sebelum ditangkap.
 
"Dia (Peter) telepon, katanya, kalau pulang dari pelayaran ke Filipina akan turun kapal dan istirahat dulu dari pekerjaan yang ditekuni selama sepuluh tahun itu. Desember lalu Peter juga sempat pulang ke Sangihe merayakan Natal bersama keluarga," kata Sopitje, yang juga pensiunan guru.
 
Keduanya berharap pemerintah Indonesia dan Filipina bisa bekerja sama menumpas aksi teroris itu. "Teroris adalah musuh kita bersama. Dan kepada perusahan diminta bertanggung jawab dengan membiayai semua permintaan tebusan para teroris. Intinya, kita serahkan pada Tuhan," ujar Sopitje.
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya