MA Tak Bisa Tolak Niat KPK Jerat Korupsi Korporat
- VIVA/Lilis Khalisotussurur
VIVA.co.id – Juru Bicara Mahkamah Agung (MA), Suhadi, merespons keinginan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggandeng MA untuk penanganan kasus tindak pidana korupsi khusus korporasi. MA, kata Suhadi, tidak bisa menolak karena lembaga yudikatif tersebut hanya terminal terakhir dalam hal keputusan di sistem peradilan.
"Ya tergantung hasil kesepakatan. MA dan pengadilan kan terminal terakhir dalam criminal justice reform system. Kalau MA yes, tapi penyidik dan penuntut umum tidak, kan percuma. Kalau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mau jerat korporasi, ya dia sebagai penyidik dan penuntut umum. Kalau MA asal sesuai Undang-Undang, tidak bisa tolak perkara," kata Suhadi saat dihubungi VIVA.co.id, Jumat 18 Maret 2016.
Sebelumnya, Wakil Ketua KPK, Laode Muhammad Syarif, menyatakan bahwa KPK akan melakukan penindakan terhadap kasus korupsi yang dilakukan korporasi. Namun aturan itu akan didasarkan pada Surat Edaran MA. Selain korupsi, aturan itu juga akan menjadi dasar penanganan tindak pidana pencucian uang oleh perusahaan.
Suhadi mengatakan bahwa MA sendiri sudah pernah menangani perkara-perkara yang menjerat korporasi. Contohnya kasus kebakaran hutan yang terjadi di Meulaboh, Aceh Barat pada 2014 dan 2015. Dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup juga disebutkan, korporasi seperti perusahaan sawit bisa dijerat pidana sebagai subjek hukum.
"Jadi sejak Reformasi, kata barang siapa dalam KUHP sudah diganti menjadi tiap orang. Tiap orang diterjemahkan bisa orang pribadi dan korporasi. Korporasi adalah sekumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisir baik berbadan hukum atau tidak," ujar Suhadi.
Dia menjelaskan dalam kasus di Aceh tersebut sudah ada korporasi yang menjadi terdakwa. Sehingga korporasi bisa dijatuhi hukuman penjara. Namun karena secara fisik tidak bisa dipenjarakan, maka korporasi bisa dihukum denda karena memiliki kekayaan.
"Jadi dia (korporasi) bisa dihukum dengan denda. Bahkan kalau yang lain digugat secara perdata sudah ada. Yang diputus MA juga sudah ada. Tapi sebatas korporasi dalam bidang lingkungan hidup. Bukan dalam hal tindak pidana korupsi atau narkotika, belum saya alami," tambahnya.
Sebelumnya, Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki juga mengatakan, kerangka hukum untuk mengatasi korupsi di sektor swasta Indonesia hanya didasarkan pada ratifikasi dari United Nation Convention Against Corruption. Pemberantasan korupsi hingga kini juga lebih difokuskan pada sektor pemerintahan dan bukan swasta. Ke depan, korupsi di sektor swasta khususnya badan korporasi juga akan menjadi perhatian pemerintah. (ren)