Komnas HAM: Ada 12 Orang Dibakar Hidup-hidup di Aceh
- Reza Fajri/ VIVA.co.id
VIVA.co.id – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyimpulkan terjadinya pelanggaran HAM berat saat terjadi konflik di Aceh pada 2003, sebelum masa darurat militer diberlakukan di kawasan itu.
“Terjadi eksekusi kilat di depan masyarakat, jadi merupakan shock therapy kepada masyarakat. Ada yang ditembak kakinya, ada yang dipopor," Ketua Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran Berat HAM di Aceh, Otto Nur Abdullah, saat menyampaikan laporan resmi hasil penyelidikan, di kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat, Senin 14 Maret 2016.
Laporan ini adalah kasus pro justitia pertama yang diselesaikan Komnas HAM, dari lima peristiwa pelanggaran HAM berat di Aceh yang sedang diselidiki. Hasil penyelidikan ini akan diteruskan untuk diproses Kejaksaan Agung sebagai penyidik negara, sesuai Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
"Kemudian laki-laki yang setengah menderita atau sudah meninggal itu diangkut lemas, kemudian dilemparkan ke salah satu rumah penduduk, rumah itu dibakar. Jadi boleh dibilang saat dibakar ada penduduk dan warga yang keadaan kondisi setengah hidup,” kata Otto.
Peristiwa ini terjadi beberapa saat sebelum penetapan status darurat militer oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada 19 Mei 2003. Dari kejadian ini, sedikitnya terdapat 16 korban jiwa, dengan 12 di antaranya termasuk dibakar hidup-hidup dan 4 mati ditembak. Selain itu, ada 21 korban luka-luka.
Otto pun menjelaskan kronologi peristiwa di Desa Jambo Keupok, pada subuh 17 Mei 2003.
Saat itu, dua truk militer mendekati desa. Satu truk masuk ke dalam, sedangkan truk lainnya berhenti di pinggiran desa. yang terletak di pinggiran kaki bukit, di Kecamatan Bakongan, Aceh Selatan.
Setelah desa sudah terkepung, para personel Tentara Nasional Indonesia (TNI) bersenjata lengkap, menyisir rumah penduduk untuk mencari anggota dan simpatisan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Mereka kemudian memerintahkan para penghuni desa keluar dari rumah dan berkumpul di jalan yang melintasi di desa itu. Kemudian, laki-laki, perempuan dan anak-anak dipisahkan.
Para laki-laki dewasa kemudian dipaksa memberikan keterangan tentang keberadaan anggota GAM. Namun, kata Otto, karena TNI tidak puas dengan jawaban penduduk, mereka kemudian menembak sejumlah warga, dan membakar korban lainnya dalam keadaan hidup.
Setelah anggota TNI kembali ke posnya sekitar pukul 16.00 WIB, para penduduk kemudian membereskan mayat-mayat di dalam rumah, untuk kemudian dikumpulkan dalam satu tempat.
“Bagi Komnas HAM, ini sudah ada bukti permulaan, sudah ada kuburan massal, jadi tinggal ditindaklajuti. Sudah ada autopsi,” ujar Otto.
Sejak penyelidikan dimulai pada 2013, Tim Ad Hoc melakukan pemeriksaan terhadap para korban luka, saksi mata, pejabat sipil seperti kepala desa dan camat. Sementara pejabat dari pihak militer tidak ada yang mau memberikan keterangan.
Padahal, Dandim 0107 Aceh Selatan pada 2003, Danramil Bakongan pada 2003 dan Komandan Pemukul Reaksi Cepat (PPRC) dari Batalyon 502 Linud Divisi II Kostrad, diduga sebagai pihak yang memiliki kemampuan kontrol terhadap anak buahnya saat itu.
Sulitnya meminta data dan keterangan dari pihak militer menjadi salah satu faktor yang menyulitkan penyelidikan. Selain itu, tim juga bergerak hati-hati agar keamanan para saksi dan korban tidak terancam.
“Kita semaksimal mungkin agar pihak militer hadir (dalam pemeriksaan). Inilah kelemahan Komnas, kita tidak ada kewenangan upaya paksa. Nanti kejaksaan sebagai penyelidik yang memiliki kewenangan,” kata Sekretaris Tim Ad Hoc, Sriyana.