Kisah Sarimin Kuliahkan Anak dari Sampah
- VIVA/Dwi Royanto
VIVA.co.id - Ide kantin sampah yang digagas oleh pasangan suami-istri Sarimin (54) dan Suyatmi (42), warga di Kota Semarang, rupanya menjadi berkah bagi keluarga. Berkat jualan di kantin sampah miliknya, pasangan yang telah puluhan tahun menikah ini rupanya mampu membiayai sekolah anaknya hingga perguruan tinggi.
Sarimin dan Suyatmi memang tergolong baru menggagas konsep kantin sampah dengan bayaran plastik di kawasan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Jatibarang. Namun, berkat keuletan menerima bayaran plastik untuk ditukar makanan di warungnya, keuntungan yang didapat cukup lumayan.
"Ya lumayan. Anak saya bisa sekolah hingga semester 8 di kampus besar di Semarang, " ujar Sarimin kepada VIVA co.id, di Kantin Sampah miliknya, Senin, 14 Maret 2016.
Tiap satu semester, Sarimin dan isteri memang harus membayar biaya kuliah anaknya, Supriyono (25), sebesar Rp1 juta. Uang itu dikumpulkan dari hasil jualan di kantin sampah selama ini. "Tiap hari paling tidak Rp50 ribu bisa kita kumpulkan," ujar Sarimin.
Menurutnya, ide membuat kantin sampah karena semata untuk menolong para pemulung yang saban hari tidak memiliki uang. Sebab, hasil mengais sampah plastik biasanya dijual ke pengepul sampah tiga sampai satu minggu sekali.
"Biasanya para pemulung ngutang di warung saya. Karena kasihan, saya akhirnya ngasih solusi, mereka boleh makan dengan membayar pakai plastik," kata pria yang merupakan mantan pemulung itu.
Sistem pembayaran makan pakai plastik rupanya juga membawa keuntungan tersendiri. Sarimin membeli tiap kilogram plastik dari pemulung Rp400. Kemudian ia jual ke pemulung seharga Rp500. Dalam sehari ia bisa mendapatkan Rp50 ribu dari kantin sampahnya. Belum lagi keuntungan dari makanan yang dijual sehari-hari.
"Selain itu melalui bayar pakai plastik bisa juga mengurangi sampah plastik yang biasanya tidak dimanfaatkan," ujar warga kelahiran Rembang itu.
Konsep unik kantin sampah ini rupanya sangat menguntungkan bagi pembeli, khususnya ratusan pemulung yang mengadu nasib di TPA Jatibarang. Selain terkesan unik, mereka juga dapat menabung di kantin tersebut. Itu jika sampah plastik yang dikumpulkan semakin banyak.
Meski demikian, kantin sampah tempat pasangan ini berjualan ternyata masih numpang. Karena mereka berjualan di kawasan TPA, mereka hanya disuruh tinggal di tanah dan bangunan milik pengelola TPA. Akan tetapi warung yang juga dijadikan tempat tinggal ini tidak dipungut biaya sepeser pun.
"Awalnya saya jadi pemulung tahun 2014 setelah hijrah dari Rembang. Karena himpitan ekonomi saya ke Semarang dan mengadu nasib di sini," ujar Sarimin. (ase)
Baca juga: