Media Dianggap Belum Lindungi Kaum Minoritas
- VIVAnews/Anhar Rizki Affandi
VIVA.co.id - Pesatnya perkembangan dunia informasi, khususnya industri media di era digital ini diharapkan tak hanya memenuhi hak informasi publik, tapi juga mengoptimalkan fungsi edukasi yang menghibur dan bertaji dalam mengamankan kontrol sosial.
Sayangnya, perkembangan media di Indonesia saat ini masih hanya bertumpu pada kecepatan. Dampaknya, media membuat informasi hanya menjalankan satu fungsi dan menjauhkan peran atas posisi idealnya tersebut. Perkembangan teknologi yang dimaknai sebagai kecepatan, akhirnya membuat media terjebak menjadi suara bagi kelompok dominan.
"Media tidak melibatkan dan memberikan suara. Seperti perlindungan dari suatu komunitas seperti isu SARA, Gafatar, Syiah maupun LGBT (lesbian, gay, biseksual dan transgender) yang hingga saat ini tidak ada kejelasannya. Kami berharap media dapat meningkatkan pemahaman tentang fungsi dan peran media," ujar Ketua Aliansi Jurnalistik Indonesia (AJI), Suwarjono, dalam diskusi 'Peran Media dalam Wacana Publik atas Diskriminasi dan Pelanggaran Hak-hak Kelompok Minoritas' di Cikini, Jakarta Pusat, Minggu 13 Maret 2016.
Dalam diskusi itu, juga disampaikan data Indonesia Democracy Index (IDI) menunjukkan diskriminasi yang paling sering melanda kelompok minoritas yaitu masalah keyakinan.
"Diskriminasi yang paling besar dialami oleh kaum minoritas yakni karena masalah agama dibandingkan dengan diskriminasi atas nama gender, etnis atau kelompok rentan," tutur Ketua UNDP, Fajar Nursahid.
Karena itu, Fajar berharap agar media dapat berperan untuk menekan tindakan diskriminatif terhadap kaum minoritas.
"Jurnalis dapat berperan sebagai 'watch dog' agar tindakan-tindakan diskriminatif dapat ditekan. Karena kalau tidak, bisa merembet," kata Fajar.
Direktur Eksekutif Sajogyo Institute, Eko Cahyono, melihat posisi agama merupakan penyebab nomor empat tindakan diskriminasi setelah sumber daya alam, kecemburuan sosial dan pertarungan politik lokal.