Hakim Gayus Minta Transparansi Pemilihan Wakil Ketua MA
- VIVAnews/Tri Saputro
VIVA.co.id – Mahkamah Agung (MA) akan memilih salah satu wakil ketua untuk menggantikan posisi Mohammad Saleh. Wakil Ketua MA Bidang Yudisial itu akan berusia 70 tahun dan memasuki masa pensiun pada 23 April 2016 mendatang.
Hakim Agung Gayus Lumbuun mengungkapkan bahwa proses pergantian atau pemilihan tersebut adalah momentum untuk melakukan perbaikan institusi MA di tingkat pimpinan. Khususnya dalam mengatasi berbagai penyimpangan yang banyak terjadi hingga kini.
"Penyimpangan itu tentu saja meresahkan masyarakat dan para pencari keadilan (justice seekers). Karena ada slogan, there are not bad soldiers, but bad commander," kata Hakim Gayus dalam siaran persnya kepada VIVA.co.id, Kamis, 3 Maret 2016.
Gayus memiliki setidaknya tiga konsep agar wakil ketua terpilih adalah calon yang bisa memenuhi harapan tersebut. Pertama, kriteria para calon yang memenuhi syarat dengan berbagai data kepribadian yang ideal perlu disampaikan kepada para Hakim Agung di kalangan MA yang memiliki hak dipilih dan memilih. Tak lupa, data itu juga harus memuat track record si calon.
"Baik sejak mulai ketika bertugas dari tingkat pertama (PN) dan Banding (PT) bagi hakim karier. Demikian pula berbagai informasi tentang kepribadian dari Hakim Agung non karier," ujar Gayus.
Kedua, perlu syarat yang bisa membuat para calon mengerucut. Misalnya, dibuat tata tertib harus mendapat dukungan 10 suara untuk dapat melangkah ke tahapan berikutnya. Kemudian perlu juga kewajiban untuk menyampaikan visi dan misi sebagai tolok ukur bahwa ia memang layak untuk menjadi salah satu pimpinan.
"Karena memiliki integritas, kredibilitas sosok yang jujur, adil, dan memiliki leadership guna mencapai kebutuhan MA yang powerful sebagai puncak peradilan (last resort)," lanjut mantan Ketua Badan Kehormatan DPR tersebut.
Kemudian ketiga, proses pemilihan juga harus dilakukan secara terbuka, termasuk kepribadian sang calon dapat diukur oleh semua pihak sehingga tidak akan ada lagi berbagai penyimpangan data.
Misalnya saja seperti ketika seseorang ingin menjadi Hakim Agung yaitu harus berpengalaman sekurangnya tiga tahun menjadi Hakim Tinggi (Hakim Banding) di Pengadilan Tinggi, sebagaimana diatur pada Pasal 7 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung Republik Indonesia.
"Dan bukan diisi oleh para calon Hakim Agung yang belum pernah bertugas sebagai Hakim Tinggi, baik fungsional, maupun struktural melainkan hanya memegang jabatan struktural di MA," tutur Gayus.
Namun pada kenyataannya, tokoh yang pernah menjadi anggota Komisi III DPR itu mencatat, justru orang dengan rekam jejak seperti itulah dalam waktu singkat terpilih menjadi Hakim Agung dan dapat menduduki Jabatan Ketua Muda (Ketua Kamar).
"Hal inilah salah satu akibat dari suatu pemilihan yang tidak transparan," kata dia.
Selain pemilihan Wakil Ketua MA, lanjut Gayus, saat ini terdapat pula kekosongan Ketua Muda (Ketua Kamar) Bidang Perdata dan Ketua Muda Tata Usaha Negara (TUN) yang sudah habis masa jabatanya. Dia berharap pemilihan untuk posisi-posisi itu juga digelar secara transparan dan bertanggung Jawab.
"Walaupun menurut UU diputusakan oleh pimpinan Mahkamah Agung, tetapi juga seharusnya melibatkan para Hakim Agung yang saat ini jumlahnya 53 orang," imbuh Gayus.
Gayus menegaskan bahwa MA merupakan lembaga yang memiliki kedudukan strategis untuk pembanguan dan keselamatan negara. Oleh karena itu, idealnya setiap pergantian posisi di dalamnya seharusnya dilakukan secara terbuka untuk umum.
"Agar bisa diikuti proses tersebut oleh pihak-pihak lain, DPR, BPK, KY dan KPK, serta termasuk seluruh koalisi masyarakat pemantau peradilan Indonesia," demikian pendapat Gayus Lumbuun.