Eks Petinggi Polri Persoalkan Deponering Novel, AS, dan BW
- ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
VIVA.co.id – Mantan petinggi Polri, Inspektur Jenderal Polisi (Purnawirawan) Sisno Adiwinoto, mengungkapkan curahan hatinya mengenai penegakan hukum di Indonesia yang tidak ideal. Sisno memulai dari kondisi bangsa ini setelah gerakan reformasi 1998.
Mantan Kapolda Sumatera Selatan itu mengatakan bahwa pasca era reformasi, di negeri ini yang berkuasa adalah 'civil society'. Ini direpresentasikan oleh LSM-LSM, yang relatif sarat kepentingan dan mengatasnamakan rakyat, dengan sering mendesak Presiden.
"Presiden lalu meng-intervensi Jaksa Agung dan Kapolri," kata Sisno dalam keterangan yang diterima VIVA.co.id, Kamis, 3 Maret 2016.
Sisno mencatat, LSM-LSM itulah yang kemudian mendorong kasus hukum Novel Baswedan, Abraham Samad, dan Bambang Widjojanto untuk dideponering atau dihentikan. Padahal, syarat utama untuk men-deponering adalah kepentingan umum.
"Menurut kriteria atau ukuran siapa? LSM? atau nyanyian netizen di media sosial? Tahu apa mereka tentang ke tiga kasus tersebut? Apa betul mereka paham dan mengerti atas substansi ke 3 kasus tersebut?" ujar Sisno.
Sisno berpandangan, seharusnya Presiden tegak dan tunduk pada konstitusi dan hukum yang ada. Bukan malah tegak dan tunduk pada tekanan civil society yang sarat dengan kepentingan.
"Kalau Republik ini benar-benar negara berdasar atas hukum, semestinya hukum-lah yang 'supreme', tapi nyatanya hukum (selalu) sub-ordinate dan tunduk pada kekuasaan, sehingga negeri ini bukan lagi negara hukum (rechtsstaat) melainkan negara kekuasaan (machtstaat)," ungkapnya.
Sisno mengungkit kasus yang sempat menimpa Komisaris Jenderal Budi Gunawan. Ketika itu, Komjen BG ditetapkan sebagai calon Kapolri oleh Presiden Jokowi. Sebagai calon pimpinan tertinggi Polri, BG lantas menjadi simbol bagi Tri Brata. Tapi ia malah dijadikan tersangka.
"Segera jajaran kepolisian menempuh jalur hukum (lewat praperadilan) melawan tindakan sewenang-wenang KPK, kenapa Presiden "berdiam diri" dengan membiarkan proses hukum bergulir?" katanya.
Namun, ketika status tersangka Komjen BG sudah dinyatakan tidak sah oleh Putusan PN Jakarta Selatan, BG ternyata tidak dilantik jadi Kapolri.
Nasib tak jauh berbeda juga dialami oleh Komjen Budi Waseso selaku Kabareskrim dengan jajarannya. Saat melakukan gebrakan yang dia sebut spetakuler dalam penegakan hukum pemberantasan korupsi, khususnya kasus Pelindo, dan membangkitan spirit perwira-perwira muda kepolisian, Buwas malah dicopot dengan alasan gaduh. Ia pun mempertanyakan alasannya.
"Kenapa kemudian ketika Novel, AS, dan BW yang nyata-nyata bikin gaduh malah kasusnya di-deponer? Lantas di mana letak equal threatment dan keadilan terhadap sesama penegak hukum?" lanjut Wakil Ketua Umum Ikatan Sarjana dan Profesi Perpolisian Indonesia (ISPPI) itu.
Sebagai warga negara yang tunduk pada hukum dan konstitusi, tambah Sisno, pilihan hukum yang bisa dan perlu ditempuh adalah mengajukan judicial review atas kewenangan deponering Jaksa Agung dalam Undang-Undang Kejaksaan ke MK.
Atau kedua, mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum oleh penguasa (onrechtmatige overheidsdaad) ke PN Jaksel atau bisa juga gabungan keduanya, yaitu uji materi Undang-undang Kejaksaan ke MK, dan atau ajukan gugatan perbuatan melawan hukum ke PN Jaksel melawan tindakan Jaksa Agung yang men-deponering kasus Novel, AS dan BW.
Sejauh ini, Jaksa Agung Muhammad Prasetyo baru mengeluarkan kebijakan deponering untuk Novel Baswedan. Sedangkan, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto masih dalam proses pertimbangan.