Sidang Pembunuhan Salim Kancil, Hakim Ceramahi Polisi

Kondisi persidangan perkara pembunuhan Salim Kancil, Surabaya (25/2/2016)
Sumber :
  • VIVA.co.id/ Nur Faishal

VIVA.co.id – Sidang kasus pembunuhan Salim Kancil hari ini kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. Agenda sidang adalah mendengarkan keterangan saksi perihal adanya tambang ilegal di Desa Selok Awar-Awar, Pasirian, Lumajang, Jawa Timur.

Kakek di Bekasi Tewas dengan Tangan dan Kaki Terikat

Sidang tersebut menghadirkan 3 orang saksi yang salah satunya adalah Penyidik Polres Lumajang, Brigadir Satu Hasan Bisri. Ia diceramahi hakim karena mengaku tak tahu-menahu soal tambang ilegal.

"Polisi ke mana sebelum itu, masa tidak tahu," kata Hakim Anggota, Erfan Basuning di PN Surabaya, Jawa Timur, Kamis, 25 Februari 2016.

Hasil Survei Unggul, Lucky Hakim: Ini Adalah Anugerah dari Allah

Saksi Hasan lebih banyak terdiam mendengarkan pertanyaan-pertanyaan retorik hakim. Dia sebelumnya mengatakan bahwa polisi baru mengetahui adanya tambang iegal setelah terjadi pembunuhan terhadap Salim Kancil, aktivis antitambang yang meregang nyawa dihabisi massa.

Tambang liar itu menurut Hasan dikelola oleh Terdakwa Hariyono yang sebelumnya adalah kepala desa di Selok Awar-Awar.

Polisi Tangkap Komplotan Pembunuh Ojek Pangkalan di Tangerang, Niat Begal Motor

"Soal lalu lintas truk, itu bukan tugas pokok dan fungsi kami sebagai reserse," kata Hasan dalam persidangan.

Selain Hasan dihadirkan pula saksi lain yaitu operator alat berat bernama Sudomo, PNS bernama Paimin dan Slamet yang merupakan warga setempat. Mereka bersaksi untuk 10 terdakwa perkara tambang ilegal dan pembunuhan terhadap Salim Kancil.

Hasan mengatakan, berdasarkan hasil penyidikan diketahui bahwa Hariyono selaku kepala desa saat itu adalah koordinator tambang ilegal. Dia merekrut banyak warga desa dengan peran masing-masing untuk memuluskan pengangkutan pasir yang dikeruk dari desa dan pantai di sekitarnya. Setiap truk pengangkut masuk, dipungut biaya karcis Rp30 ribu.
 
Sementara diperkirakan, setiap hari ada  200 truk yang membeli pasir di tambang ilegal. Uang hasil penjualan karcis dikelola dan dibagi-bagi kepada warga yang turut dalam proses itu. Namun yang paling banyak mendapatkan bagian adalah Terdakwa Hariyono.

Sementara jaksa dalam persidangan lantas menunjukkan bukti karcis truk. Ternyata karcis tersebut ditulis sebagai karcis wisata bahari sehingga tak menerangkan keperluan transaksi pasir. Karcis dicetak sendiri oleh para terdakwa dan hasil pungutan tidak diserahkan ke Dispenda setempat.  

Menanggapi kesaksian itu, Terdakwa Hariyono membantah bahwa dirinya sebagai koordinator tambang di desa itu. Dia juga membantah sekitar 200 truk lalu-lalang mengambil pasir di tambang yang dikelolanya. "Itu untuk wisata," kata Hariyono soal karcis itu.

Selain itu, Terdakwa Eko yang merupakan penjaga portal truk juga membantah bahwa Hariyono adalah koordinator tambang. Namun dia mengakui adanya pungutan truk pengangkut pasir tersebut. "Uang karcis diserahkan langsung ke Pak Lurah," kata Eko.

Kasus ini bermula ketika puluhan orang protambang mengeroyok Aktivis antitambang, Salim Kancil dan Tosan di Desa Selok Awar-awar, Pasirian, Lumajang pada 26 September 2015 lalu. Salim tewas secara tragis hingga memantik perhatian nasional. Total ada 37 orang jadi pesakitan dalam perkara pembunuhan ini.

(mus)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya