Pedagang Terakhir di Sungai Katingan
- VIVA.co.id/Harry Siswoyo
VIVA.co.id – Ihak (52) duduk tercenung di atas kapal tongkangnya yang sarat dengan barang jualan. Dari jendela kecil yang ada di samping kemudi kapal, kepalanya sesekali keluar menatap kelotok yang melintas di Sungai Katingan.
Mata tajam dan lipatan kulit menua di wajahnya terlihat seperti dirundung masalah. "Pembeli lagi sepi. Jadi kami beristirahat dulu," kata Ihak menjelaskan kondisinya, pekan lalu.
Kapal tongkang Ihak memang sedang menepi di Desa Rangan Seha Kabupaten Katingan. Seluruh dagangannya ditutupi oleh terpal, karena hari itu awan gelap memang sudah menggelayut di hulu Sungai Katingan.
Ihak bersama seorang kernetnya, sudah seminggu ini berlayar dari desa ke desa menjajakan kebutuhan harian warga yang tinggal di pinggir Sungai Katingan.
Ia mengaku sudah 41 tahun menggeluti profesi ini. Ratusan kilometer Sungai Katingan pun sudah diselusurinya.
FOTO: Ihak dan kernetnya saat beristirahat di salah satu desa yang berada di aliran Sungai Katingan Kalimantan Tengah.
Seluruh barang dagangan Ihak, mulai dari beras, gula pasir, minyak, kelapa, mi dan segala macam barang pokok, dibawanya dari Sampit. Setidaknya ia butuh modal hingga Rp40 juta untuk membeli barang jualan.
"Kami berlayar selama dua mingguan. Habis nggak habis barang kami pulang," kata Ihak.
Kapal tongkang milik Ihak berukuran sekira 12x2,5 meter. Sekali berlayar, setidaknya sanggup membawa hingga beban 10 ton. Namun, sudah hampir 10 tahun ini Ihak mengaku cukup kesulitan menjajakan barang dagangannya.
Tak jelas apa yang menjadi penyebab. Ia hanya menduga ini karena masalah paceklik dan mulai sepinya aktivitas pelayaran di Sungai Katingan.
Zaman Kayu
Sepuluh tahun lalu, kata Ihak, sepanjang Sungai Katingan begitu ramai dengan lalu lalang berbagai jenis perahu. Kehidupan di pinggir sungai begitu riuh dan uang seperti berserakan dimana-mana bagi Ihak.
Masa itu berlangsung hingga hampir tujuh tahunan, tepatnya sejak tahun 1997-2005. Pedagang bahan pokok seperti Ihak, juga tak terhitung banyaknya yang bisa meraup rezeki pada masa itu.
"Tahun itu zaman emasnya illegal logging. Hampir di seluruh aliran sungai ada kehidupan. Minimal tempat orang menggergaji kayu," kata Ihak.
Manisnya kayu haram yang beredar di sepanjang Sungai Katingan, diakuinya memang memberi rezeki tersendiri bagi para pedagang bahan pokok seperti Ihak.
"Namun kini, setelah penertiban dan juga semakin menipisnya kayu hutan, membuat sungai jadi sepi. Menghabiskan jualan jadi susahnya bukan main," kata Ihak.
Bahkan, saking sepinya sungai, kini pedagang bahan pokok pun sudah beralih. Mereka tak lagi menjajakan dagangannya lewat kapal. "Paling tersisa dua pedagang lagi yang jualan lewat sungai. Sisanya mereka berkeliling pakai mobil. Kami yang di sungai kini semakin tertekan," tutur Ihak.
Sebab itu, ia kini juga mengandalkan angkutan selepas jualan. Yakni berupa titipan warga untuk dibawa ke pelabuhan seperti rotan. Tanpa itu, kapal yang pulang dalam keadaan kosong, akan membuat kerugian tambah parah.
"Pulangnya kami bawa rotan, biasanya 10 ton muat di kapal saya. Uang upah antar ini lebih menjanjikan ketimbang jualan. Soalnya kalau jualan banyak yang utang dulu, jadi belum tentu dapat uang utuh," kata pria kelahiran Sampit Kotawaringin Timur tersebut.
Sangat Terbantu
Bagi Ilan (45), kehadiran pedagang seperti Ihak, memang sangat membantu warga desanya. Apalagi Desa Rangan Seha, yang kini didiami oleh 60 kepala keluarga di pinggir Sungai Katingan, tidak memiliki akses jalan tempuh lewat darat.
Rangan Seha atau Desa Terbakar dalam pengertian dialek lokal, diakui Ilan memang merupakan salah satu desa tertinggal. Dahulunya ramai karena aktivitas penebangan hutan.
Namun, karena kini sebagian hutannya telah terbakar dan sudah berakhirnya aktivitas pencurian kayu, membuat desa ini ditinggalkan. Mereka yang bertahan dan beranak pinak adalah warga Dayak yang sudah terlanjur membuat rumah.
FOTO: Ihak dan kernetnya saat bersandar di salah satu desa yang terdapat di aliran Sungai Katingan Kalimantan Tengah.
"Kalau kami sangat berharap ada pedagang keliling di sungai. Soalnya desa kami ini tidak ada jalan darat. Dan yang bernasib serupa seperti kami masih banyak," kata pria asli Dayak tersebut.
Kini, riak-riak Sungai Katingan yang berwarna coklat pekat terus mengalir. Ribuan harapan pun masih bergantung di riam-riam Katingan.
Di ujung senja, Ihak masih mengikat perahu dagangnya di pinggir Desa Rangan Seha. Mimpinya masih berpikir keras bagaimana menghabiskan barang dagangannya yang kini sudah terlanjur tergelatak di geladak kapalnya. (ase)