Revisi UU Terorisme Diminta Akomodir Hak-hak Korban
- Fajar Sodiq/VIVA.co.id
VIVA.co.id - Aliansi Indonesia Damai (AIDA) dan Yayasan Penyintas Indonesia Korban Terorisme (YPI) meminta, revisi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2013 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Terorisme tidak hanya membahas soal pencegahan dan penindakan. Namun, perubahan tersebut juga bisa mengakomodir pemenuhan hak-hak korban aksi terorisme.
"Ada klausul khusus, ada jaminan kepada korban terorisme," kata Direktur AIDA, Hasibullah Sastrawi di Hotel Sofyan, Jalan Cut Mutia 9, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa, 16 Februari 2016.
Hak korban yang ia maksudkan salah satunya adalah jaminan biaya medis akibat tindak pidana teroris hingga sembuh. Hasibullah menyarankan agar biaya itu dibebankan Kementerian Kesehatan sebagaimana ketentuan yang berlaku.
"Itu penting agar tidak ada korban yang terlantar," katanya menambahkan.
Selain itu, dia juga mendorong lembaga-lembaga negara terkait bisa saling bersinergi dalam upaya pemenuhan hak korban sesuai undang-undang yang berlaku. Misalnya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) termasuk pemerintah.
"Pemerintah perlu menerbitkan aturan hukum baru sebagai payung hukum pemenuhan hak-hak korban terorisme," ujarnya berharap.
Teror yang mengguncang Jakarta pertengahan Januari 2016 lalu memunculkan wacana revisi UU Terorisme. Namun demikian, wacana tersebut masih menjadi polemik.
Ada Kekurangan Hukum
Anggota Komisi III DPR, Muhammad Nasir Djamil mengakui, UU Nomor 23 Tahun 2013 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Terorisme belum mengatur soal pemenuhan hak-hak korban serangan teror atau terorisme. Menurutnya, UU itu masih memiliki celah hukum.
"Ada kekurangan yang berdampak pada penangangan korban serangan teror atau terorisme," kata Nasir.
Nasir setuju regulasi yang mengakomodir pemenuhan hak-hak korban, seimbang antara mantan pelaku teror dan korban perlu diatur. Alasannya selama ini, ia melihat adanya ketimpangan.
"Mantan pelaku serangan teror, dieluh-eluhkan, disantuni keluarganya. Lha, sementara yang menjadi korban malah sebaliknya tak dapat perhatian apa-apa. Jangan sampai orang berpikir ya sudah jadi pelaku saja kalau demikian," imbuh anggota DPR dari Partai Keadilan Sejahtera tersebut.
Nasir juga mengingatkan perlunya koordinasi antarlembaga terkait seperti Badan BNPT, LPSK, Polri dalam penangan korban. Tujuannya, untuk mencegah terjadinya sesuatu yang lebih buruk seperti hilangnya nyawa korban akibat penanganan yang lambat dan birokrasi yang berbelit.
"Jadi korban bisa ditangani dengan cepat dan baik. Bagaimana korban dalam kondisi kritis dapat penangangan segera, tidak ada lagi birokasi yang menunda penanganannya. Tak ada surat ini, surat itu, jangan sampai karena urus ini, itu, akhirnya korban meninggal."
(mus)