Migrant Care Nilai RUU Perlindungan TKI Jauh Dari Nawacita
Rabu, 10 Februari 2016 - 20:45 WIB
Sumber :
- VIVAnews/Ikhwan Yanuar
VIVA.co.id - Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang fokus menangani hak-hak buruh migran, Migrant Care, mengkritisi RUU Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri (PPILN) yang masuk dalam agenda prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2016.
Menurut Migrant Care, RUU itu secara substansi maupun Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang diusulkan pemerintah, mengakomodir prinsip-prinsip fundamental yang terkandung dalam Konvensi Internasional Tahun 1990 tentang Perlindungan Hak-Hak Buruh Migran dan Anggota Keluarganya.
Baca Juga :
AS Larang Impor Barang dari Hasil Buruh Anak
"Kemunduran bahkan, karena posisi pemerintah sudah terikat dengan komite PBB untuk perlindungan buruh migran, pasca ratifikasi konvensi," ujar Direktur Eksekutif Migrant Care, Anis Hidayah kepada VIVA.co.id, Rabu, 10 Februari 2016.
Usulan paling menonjol adalah dihapuskannya Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), sebagai upaya jalan pintas mengatasi dualisme kelembagaan migrasi. Namun disisi lain, mempertahankan peran Perusahaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS).
Padahal, Anis menilai, PPTKIS selama ini adalah pihak yang melakukan eksploitasi terhadap buruh migran. "Problem kelembagaan migrasi memang harus dituntaskan, tetapi inisiatif mempertahankan peran korporasi sama artinya dengan mengamini pelanggengan komersialisasi pelayanan publik bagi warga negara," ucap Anis.
Pada draf RUU PPILN dan DIM usulan pemerintah, Migrant CARE mencatat, ada beberapa materi yang berpotensi melanggar hak buruh migran. Hal ini meliputi tak disebutkannya calon majikan dalam ketentuan umum pasal 1. "Hal ini mempertegas pengaturan bahwa buruh migran sebagai obyek dan bukan subyek," urai Anis.
Kemudian, PPILN sebagai gantinya PPTKIS, mengatur tentang bisnis yang melanggengkan industrialisasi penempatan buruh migran. Mitra Usaha atau Agen, adalah yang selama ini bersama PPTKIS berkontribusi menciptakan ekploitasi.
Selain itu, Perjanjian Kerjasama Penempatan, yaitu perjanjian antara PPTKIS dan Agen negera tujuan, tidak bisa dikontrol pemerintah. Ia khawatir, justru akan berkontribusi terhadap jual beli job order (permintaan kerja).
Sementara keberadaan PAP, KPILN, selama ini hanya sebagai alat untuk memperpanjang birokrasi, dan bukan menjadi instrumen perlindungan.
Dalam RUU ini, juga masih mencantumkan adanya perekrutan, yang berpotensi mengakibatkan terjadinya penyekapan dan stok manusia. Terakhir, masih adanya pengabaian hak berserikat sebagai hak mendasar buruh migran.
"Dalam DIM yang disusun pemerintah dinyatakan tidak perlu ada ketentuan yang menegaskan kebebasan bagi buruh migran untuk berorganisasi dan berserikat," ungkap Anis.
Untuk itu, Migrant Care mengingatkan kembali komitmen Presiden Joko Widodo yang ada dalam visi-misi Nawacita, bertekad menghadirkan Negara dengan melindungi hak dan keselamatan WNI di luar negeri.
Migrant Care pun menuntut perubahan dalam revisi UU Nomor 39 tahun 2004, harus menyelaraskan semua prinsip dalam UU Nomor 6 tahun 2012 tentang Ratifikasi Konvensi Internasional Tahun 1990 mengenai Perlindungan Hak-Hak Buruh Migran dan Anggota Keluarganya sebagai pedoman utama.
Memastikan dan memberikan wewenang kepada pemerintah daerah dalam proses pra pemberangkatan. Memastikan adanya pasal yang mensyaratkan mitra kerja pemerintah Indonesia dan negara tujuan, yang dituangkan dalam perjanjian bilateral antar pemerintah. (G to G),
"Calon majikan terdaftar di pemerintah negara tujuan, perlindungan hak-hak buruh migran, termasuk hak berorganisasi dan berserikat bagi buruh migran, jaminan sosial, dan akses terhadap bantuan hukum," terangnya.
Migrant Care juga minta agar pasal-pasal yang berpotensi melanggar hak-hak buruh migran di dalam RUU PPILN ini, dihapuskan. (ase)
Baca Juga :
Halaman Selanjutnya
Pada draf RUU PPILN dan DIM usulan pemerintah, Migrant CARE mencatat, ada beberapa materi yang berpotensi melanggar hak buruh migran. Hal ini meliputi tak disebutkannya calon majikan dalam ketentuan umum pasal 1. "Hal ini mempertegas pengaturan bahwa buruh migran sebagai obyek dan bukan subyek," urai Anis.