Panglima TNI Bicara Proxy War di KRI Makassar-509
- Puspen TNI
VIVA.co.id - Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo menegaskan, media massa sebagai sarana informasi dan pendidikan bagi masyarakat memiliki peran penting. Jurnalis menjadi motor penggerak kemajuan bangsa.
"Memahami ancaman, menyadari jati diri sebagai modal membangun menuju Indonesia emas," katanya kepada wartawan di dalam KRI Makassar-590 pada acara Sail of Journalist.
Menurut Gatot Nurmantyo, Indonesia tengah mewaspadai penyebaran Proxy War. Jenis peperangan yang masuk kategori perang yang mematikan. Proxy War, perang dengan menggunakan pihak ketiga, yang sering disebut dengan boneka. Tidak dikenal oleh siapa pun, kecuali pihak yang mengendalikannya dari jarak tertentu.
Karena itu, pihak-pihak seperti mahasiswa, ormas, lembaga masyarakat, dan perorangan disinyalir mudah menjadi boneka atau pihak ketiga tersebut. Proxy War saat ini berlatar belakang energi. Proxy War di Indonesia semakin nyata yang salah satu contohnya adanya pergeseran konflik dunia.
"Saat ini, cadangan energi dunia sisa 45 tahun dan itu akan habis jika kita semua tak berusaha menemukan penggantinya, karena konsumsi energi 2025 meningkat 45 persen," katanya.
Ditambahkan Gatot, sekitar 70 persen konflik di dunia berlatar belakang energi. Padahal, peningkatan energi pada 2007-2009 juga memicu kenaikan harga pangan dunia yang mencapai 75 persen.
Kemudian, hanya ada negara-negara yang dilintasi ekuator yang mampu bercocok tanam sepanjang tahun. Seperti Amerika Latin, Afrika Tengah, dan Indonesia.
Selain itu, Gatot Nurmantyo memaparkan tentang jumlah penduduk dunia yang akan mencapai 12,3 miliar pada 2043. Tiga kali lipat melebihi daya tampung Bumi.
Di dunia, hanya ada 2,5 miliar penduduk yang tinggal di garis ekuator, sedangkan untuk sisa penduduknya ada sejumlah 9,8 miliar yang berada di luar ekuator.
"Kondisi ini yang memicu terjadinya perang untuk mengambil alih energi negara-negara yang berada di garis ekuator, salah satunya Indonesia. Maka, saat ini yang terjadi adalah perang masa kini dengan latar energi, akan mengalami pergeseran menjadi perang pangan, air, dan energi," katanya.
Banyak cara dilakukan negara asing untuk menguasai kekayaan alam Indonesia. Jelas dengan adanya Proxy War yang telah menyusup ke sendi-sendi kehidupan berbangsa, bernegara, dan berkeluarga.
"Caranya dengan menguasai media di Indonesia, dengan menciptakan adu domba TNI-Polri, rekayasa sosial, perubahan budaya, pemecah belah partai, dan penyelundupan narkoba sudah jauh-jauh hari dilakukan," ujarnya.
Guna mengatasi permasalahan tersebut, maka semua komponen bangsa harus membekali diri dengan ilmu pengetahuan yang cukup, keahlian sesuai bidangnya, menempa diri dengan pengalaman yang nyata di lapangan.
Dengan demikian, akan terbentuk karakter individu bangsa Indonesia yang kuat dan berwawasan kebangsaan. Pada akhirnya, dengan kekuatan karakter individu yang kuat tersebut, bangsa Indonesia akan mampu melawan dan Proxy War di Indonesia.
Pada akhir ceramahnya, Gatot Nurmantyo menegaskan, agar masyarakat tidak menyerah terhadap semua ancaman. Sebab, bangsa Indonesia memiliki modal geografi dengan potensi menjadi negara agraris yang berkelimpahan sumber daya alam.
Sebagai negara maritim, sumber daya alam kelautan Indonesia juga melimpah. Kedua potensi tersebut bila dikelola dan dikembangkan, maka akan menjadi daya tawar yang sangat besar bagi bangsa Indonesia.
"Dengan modal demografi Pancasila dan kearifan lokal, bangsa Indonesia dapat meraih kemerdekaan dan mampu melewati berbagai ancaman yang mengganggu jalannya pembangunan," katanya.
Sementara itu, Wakil Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) RI, Farouk Muhammad yang juga berada di KRI Makassar-590 mengatakan, menghadapi berbagai tantangan dalam wujudkan visi poros maritim dunia adalah pengelolaan sumber daya alam yang baik.
  Â
"Posisi kita strategis, tapi beberapa hal ada ancaman, karena saking luasnya wilayah," katanya.
Farouk menambahkan, kondisi ini menjadi tantangan bagi pemerintahan Jokowi-JK yang ingin menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Di mana banyak keterbatasan aparat negara untuk menegakkan hukum di kawasan laut Nusantara.