Muslim 'Generasi' Cheng Ho Bicara Soal Tradisi Imlek
- VIVA.co.id/ Nur Faishal.
VIVA.co.id - Perayaan Tahun Baru Imlek kian dekat. Seluruh warga keturunan Tionghoa di Indonesia mempersiapkan segala hal untuk keperluan peringatan tahun baru kalender China itu. Termasuk warga muslim keturunan Tionghoa di Surabaya.
Di Surabaya, pusat kegiatan keagamaan muslim Tionghoa berada di kompleks Masjid Cheng Ho di Jalan Gading 2, Kelurahan Ketabang, Kecamatan Genteng, Surabaya. Di masjid ini pula kegiatan Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Surabaya juga berada.
Saat Imlek, di masjid berasitektur China ini biasanya dilaksanakan kegiatan sosial. "Tapi untuk Imlek tahun ini sepertinya tidak ada kegiatan khusus. Paling pasang lampion saja. Besok Jumat keputusannya," kata Ketua Pelaksana Harian Yayasan Masjid Cheng Ho, Hasan Basri Fu, ditemui VIVA.co.id di Masjid Cheng Surabaya, Kamis, 4 Januari 2016.
Dia mengatakan, kendati Imlek identik dengan masyarakat beragama Budha dan Khong Hu Cu, Imlek juga memiliki makna mendalam di kehidupan masyarakat muslim Tionghoa. "Imlek itu perayaan tahun barunya warga Tionghoa, secara khusus tidak ada hubungannya dengan agama," kata Hasan.
Imlek, kata pria bernama Tionghoa Lim Fuk Shan itu, sama dengan tahun baru kalender hijriyah dalam Islam dan kalender masehi yang identik dengan agama Kristen. "Di Imlek itu ada kumpul-kumpul keluarga, sama saat tradisi kumpul-kumpul saat Idul Fitri," ujar Hasan.
Silaturrahim Imlek warga muslim Tionghoa dilakukan tidak hanya sesama muslim. Tapi dengan semua warga dan keluarga Tionghoa yang berbeda agama. "Di kami juga ada tradisi memberi angpao. Biasanya sesepuh yang memberikan angpao, terutama kepada keluarga yang belum menikah. Angpao di sini dimaknai sebagai berbagi kegemberiaan. Berbagi berkah," tandas pria keturunan Tionghoa dari Hokkian itu.
Nah, semangat silaturrahim Imlek tanpa sekat agama ini, lanjut Hasan, adalah semangat pluralisme yang dicontohkan oleh Laksamana Cheng Ho atau Zheng He atau Haji Mahmud Shams, Kasim Muslim di masa Kaisar Yongle dari Tiongkok, kaisar ketiga dari Dinasti Ming di abad ke-15. Dia juga dikenal sebagai pelaut, yang juga pernah mengunjungi berbagai tempat di Nusantara.
"Kenapa Cheng Ho juga diabadikan di banyak kelenteng. Karena dia selalu hadir ketika diundang penganut agama Budha di Kelenteng, dia datang. Pernah ada cerita konflik antara pengikutnya muslim dan nonmuslim. Cheng Ho melerai dan bilang jangan bersitegang. Dia lalu mengambil dupa sambil mengucapkan 'bismillah'," cerita Hasan.
Bagi Hasan dan muslim Tionghoa, Cheng Ho sudah menyontohkan sikap pluralis jauh sebelum wacana pluralisme ramai didiskusikan saat ini. Menurutnya, Cheng Ho menerapkan ajaran Rasulullah soal hubungan kemasyarakat dalam perbedaan agama.
"Rasulullah tidak pernah mengkafirkan orang. Dan Cheng Ho mencontoh itu dari Rasulullah dalam prilaku dan akhlaknya," ujar pria kelahiran Palembang yang muallaf pada tahun 1997 itu.