Kelenteng Ini Jadi Simbol Perlawanan Tionghoa Surabaya

Kelenteng Boen Bio
Sumber :
  • VIVA.co.id/ Januar Adi Sagita

VIVA.co.id - Kelenteng Boen Bio yang terletak di Jalan Kapasan, Kelurahan Kapasan, Kecamatan Simokerto, Surabaya, merupakan salah satu kelenteng tertua di Surabaya. Sebagai kelenteng yang sangat tua, bangunan yang didirikan pada tahun 1883 silam ini, ternyata memiliki sejarah perjuangan masyarakat Tionghoa Surabaya melawan Kolonial Belanda.

Humas Kelenteng Boen Bio, Liem Tiong Yang, mengatakan, saat itu pemerintah Kolonial Belanda melakukan monopoli dagang di Surabaya. Tepatnya, monopoli dagang itu dilakukan pemerintah melalui Holland Vereniging Amsterdam (HVA).

“Itu semacam lembaga dagangnya pemerintah kolonial yang ada di Indonesia. Kalau di Surabaya itu kantornya yang ada di dekat Jalan Rajawali, yang sekarang gedungnya digunakan oleh PTPN,” kata Liem, di Surabaya, Senin 1 Febuari 2016.

Sikap monopoli itu kemudian mendapatkan respons dari para pedagang Tionghoa yang ada di Surabaya. Mereka kemudian melakukan perlawanan atas kebijakan tersebut.

“Tapi bentuk perlawanannya tidak anarkis, melainkan dengan memilih jalur damai. Caranya, dengan tidak melakukan aktivitas perdagangan sama sekali, atau menutup semua toko milik mereka,” terang Liem.

Aksi pemboikotan perdagangan itu membuat roda perekonomian di Surabaya saat itu menjadi lumpuh. Hal itu tentu saja membuat pemerintah Kolonial Belanda menjadi khawatir.

Pemerintah kemudian berusaha menyelesaikan masalah itu melalui jalur hukum. Sehingga, digelarlah sidang terkait masalah itu. Dalam sidang itu, pengadilan kemudian memenangkan para pedagang Tionghoa.

Karena kalah dalam persidangan, maka pihak HVA diminta oleh pengadilan membayar denda kepada para pedagang Tionghoa. “Saya lupa berapa jumlah dendanya, tapi yang pasti ada sekian ratus gulden,” terang Liem.

Uang hasil denda itu kemudian mereka gunakan untuk membangun kelenteng Boen Bio. “Jadi selain digunakan untuk tempat ibadah umat Konghucu, kelenteng ini didirikan juga sebagai sebuah monumen, atau prasasti bahwa pernah ada perlawanan terhadap kesewenang-wenangan Belanda,” tegas Liem.

Liem melanjutkan, awalnya kelenteng itu terletak di belakang Jalan Kapasan. Namun, karena alasan tertentu, dan kebutuhan akan renovasi, bangunan itu kemudian dipindahkan ke depan pada tahun 1906.

“Tapi sejak tahun 1906 sama sekali tidak ada yang diubah dari bangunan ini, dengan kata lain masih asli. Hanya halaman depan saja yang terpotong karena pelebaran jalan, walaupun luasnya masih 1.000 meter persegi,” urai Liem.

Meski telah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya oleh Pemkot Surabaya, namun Liem merasa tidak banyak bantuan yang diterima terkait dengan pengelolaan, maupun perawatan bangunan kelenteng itu.

Indahnya Arsitektur Berat, Kota Seribu Jendela

Bantuan itu hanya berupa peringanan pembayaran Pajak Bumi Bangunan (PBB), yang hanya dihitung berdasarkan panjang bangunan itu sejajar dengan jalan di depannya, yaitu sepanjang 18 meter, dan bukan berdasarkan luas keseluruhan yang mencapai 1.000 meter persegi.

Liem berharap, ke depannya pemerintah lebih memiliki kepedulian terhadap bangunan cagar budaya. Sebab, menurutnya berbagai bangunan cagar budaya memiliki nilai sejarah yang tidak boleh dihilangkan begitu saja.

“Ada banyak nilai-nilai kepahlawanan, perlawanan, dan perjuangan nasionalisme di mana anak cucu kita wajib mengetahuinya. Kalau tidak dirawat, maka kita akan menjadi bangsa yang kehilangan identitas sejarahnya,” harap Liem. (one)