Indeks Korupsi Militer RI Membaik, TNI Lebih Transparan?
- ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma
VIVA.co.id - Upaya Kementerian Pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia dalam mengendalikan risiko korupsi di tubuh militer mulai menunjukkan hasil positif. Setidaknya itu terlihat dari perubahan Indeks Anti Korupsi Militer (IAKM) Indonesia.
IAKM yang segera dirilis Transparency International (TI) Indonesia itu menunjukkan militer Indonesia bergeser membaik dari kategori sebelumnya, yakni memiliki risiko korupsi E (sangat tinggi) pada 2013, menjadi risiko korupsi kategori D (tinggi) pada 2015.
Indeks ini mengukur risiko korupsi di tubuh militer suatu negara. Korupsi dalam tubuh militer bisa membahayakan keamanan dan kedaulatan negara, membahayakan keamanan warga, menghamburkan sumberdaya, dan juga membahayakan keselamatan tentara.
Risiko korupsi dalam tubuh militer ini dibagi ke dalam lima area, yakni risiko politik (kebijakan), risiko keuangan, risiko personalia, risiko operasional dan risiko pengadaan alusista.
Kemudian, risiko korupsi ini digolongkan ke dalam enam kategori; sangat rendah (A), rendah (B), moderat (C), tinggi (D), sangat tinggi (E), kritis (F).
"Dengan indeks ini bisa diketahui pasang surut risiko korupsi suatu negara yang bisa diperbandingkan dengan negara lain. Lebih jauh dari itu, dengan diketahuinya risiko korupsi tersebut kita bisa menyusun strategi bagaimana pengedalian risiko korupsi di tubuh militer," kata Sekjen TII, Dadang Trisasongko, dalam siaran persnya, Kamis, 21 Januari 2016.
Dengan membaiknya risiko korupsi militer Indonesia pada tahun 2015, menimbulkan perubahan status risiko korupsi militer di kawasan Asia Pasifik maupun G20.
Di kawasan Asia Pasifik, risiko korupsi militer Indonesia sekelas dengan Bangladesh, India, Malaysia dan Filipina.
Sementara militer China, Pakistan, Sri Lanka, dan Thailand masuk ketegori E atau sangat tinggi risiko korupsinya. Sedangkan Kamboja dan Myanmar masuk ketegori F atau kritis.
Selandia Baru masuk kategori A atau sangat rendah risiko korupsinya. Australia, Jepang, Singapura, Taiwan masuk kategori B atau rendah. Korea Selatan masuk kategori C atau moderat.
Sekelas Rusia
Dalam konteks G20, risiko korupsi militer Indonesia sekelas dengan India, Rusia, Afrika Selatan, dan Turki. Yang paling rendah risiko korupsinya (A) dan rendah (B), di grup ini adalah Inggris (A), Australia (B), Kanada (B), Jerman (B), Jepang (B), dan Amerika (B).
Argentina, Perancis, Italia, Meksiko dan Korea Selatan, masuk ketegori C atau moderat. Sedang risiko korupsinya paling tinggi (E) di G20 adalah Brazil, Cina dan Saudi Arabia.
Dadang menilai pergeseran IAKM Indonesia dari sangat tinggi ke tinggi sudah cukup baik. Namun demikian, pencapaian itu belum cukup, dan perlu terus didorong supaya IAKM Indonesia bisa rendah (B) atau moderat (C) dalam dua tahun ke depan. Bahkan, dalam jangka panjang, risiko korupsi militer RI bisa ditekan menjadi sangat rendah (A).
Menurut dia, upaya untuk mengendalikan risiko korupsi dapat dilakukan dengan pencegahan dan penindakan. Upaya pencegahan dilakukan dengan cara meningkatkan komitmen dan implementasi zona intengritas dan zona bebas korupsi di tubuh militer. Termasuk di dalamnya meningkatkan transparansi anggran militer dan pengadaan alutsista.
Pada Agustus 2014 lalu, TNI sudah mendeklarasikan akan mengembangkan zona integritas dan zona bebas anti korupsi. Sementara upaya penindakan, dengan cara meningkatkan efektivitas peradilan militer.
"Yang tak kalah penting adalah perlunya kerja-kerja politik, bagaimana meningkatkan efektivitas kontrol politik parlemen dan juga kontrol publik terhadap kebijakan pertahanan dan keamanan," ujar Dadang.
Sementara itu, Direktur Imparsial, Al Araf, mengatakan perlunya merevisi Undang-Undang No 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer, sehingga parajurit TNI juga tunduk pada rezim pengadilan sipil. Nantinya tentara yang melakukan tindak pidana korupsi diadili di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
"Politisi di Senayan dan juga pemerintah harus mengambil langkah ini jika serius ingin mengendalikan risiko korupsi di tubuh militer. Kalau UU ini direvisi, nanti KPK cukup leluasa mengusut kasus korupsi yang melibatkan prajurit TNI," kata Al Araf.
Peneliti ICW, Agus Sunaryanto, mengatakan jika TNI ingin mendorong perbaikan dan mendorong percepatan zona Integritas dalam tubuh TNI, dari sisi keterbukaan, penting untuk memudahkan akses bagi BPK dan KPK untuk mengaudit dan memberikan keleluasaan untuk menelusuri jika terindikasi penyimpangan. Selain itu, perlu diperketat regulasi pengadaan yang digunakan. (ase)