Amuk Massa Terhadap Gafatar Akibat Pernyataan Sesat
- ANTARA FOTO/Jessica Helena Wuysang
VIVA.co.id – Aksi amuk massa yang membakar permukiman warga eks anggota Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) dinilai sebagai dampak dari pernyataan yang mengarahkan publik pada kebencian terhadap organisasi tersebut.
Akibatnya, pandangan pejoratif (menghina), stereotip menjadi dasar publik melawan 'kesesatan' yang ada di gafatar.
Tak cuma itu, stigma itu pun dibangun atas dasar persepsi dan pernyataan ketidaksetujuan secara terbuka, yang kemudian diikuti dengan penindakan oleh beberapa pemerintah daerah.
"Penyesatan tanpa proses pemeriksaan yang fair dan akuntabel yang dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan diafirmasi oleh aparat negara telah memicu kemarahan publik pada kelompok Gafatar," ujar Hendardi, Ketua Setara Institute, Rabu 20 Januari 2016.
Menurutnya, pengikut Gafatar adalah warga negara yang berhak atas perlindungan dan hak atas rasa aman. Apa pun pandangan keagamaan Gafatar, negara tidak boleh membiarkan mereka mengalami penganiayan dari siapa pun.
Apalagi, pemerintah sama sekali belum pernah meminta klarifikasi langsung pada pengurus organisasi itu.
Untuk itu, Setara Institute mengingatkan agar pemerintah bekerja berdasarkan konstitusi dan perundang-undangan bukan pada fatwa-fatwa yang sama sekali tidak memiliki kekuatan hukum.
"Penyesatan oleh lembaga keagamaan tertentu yang diafirmasi oleh negara, dipastikan akan melahirkan kekerasan massa. Jika tidak diantisipasi, maka pengusiran, penganiayaan, dan diskriminasi terhadap kelompok Gafatar akan terus berlanjut," tambahnya.
Setara Institute pun mendorong institusi Polri untuk melakukan tindakan perlindungan pada pengikut Gafatar di beberapa daerah, bukan menangkapi dan membiarkannya saat mereka dihakimi massa.