Tersandung Suap, Pembentukan Bank Banten Ditunda
- ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal.
VIVA.co.id - Gubernur Banten Rano Karno menyatakan bahwa pembentukan Bank Banten ditunda. Penundaan dilakukan lantaran pada proses pembentukannya tersangkut kasus suap.
Rano mengatakan bahwa pembentukan Bank Banten telah dimasukkan pada Peraturan Daerah tahun 2012 dan kemudian masuk Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).
Rano menyebut bahwa berdasarkan RPJMD, maka pembentukan Bank Banten harus tetap dilakukan. Namun, Kementerian Dalam Negeri kemudian memberikan catatan bahwa pembentukan itu harus ditunda.
"Tentu berdasarkan RPJMD harus dilanjutkan, tapi Kemendagri berikan catatan untuk ditunda, dalam kaitan adalah untuk melakukan evaluasi, kita tunggu saja," kata Rano di Gedung KPK, Jakarta, Kamis 7 Januari 2016.
Politikus PDI Perjuangan itu mengaku belum mengetahui hingga kapan penundaan akan dilakukan. Dia berharap Kemendagri segera menyelesaikan evaluasi sehingga pembentukan Bank Banten dapat terealisasi.
"Mudah-udah Kemendagri segera, karena semua tidak lepas dari evaluasi APBD, karena penyertaan ini ada dalam APBD," ujar Rano.
Menurut dia, proses pembentukan Bank Banten sudah berjalan sebelumnya. Bahkan sudah tahap pemilihan beberapa Bank untuk diakusisi menjadi Bank Banten.
Dia menyebut bahwa Bank yang paling mungkin untuk diakusisi adalah Bank Pundi. Namun hal tersebut masih belum diputuskan. "Belum dipilih, belum ada yang dipilih, jadi sampai hari ini Banten belum punya Bank," kata Rano.
Diketahui, kasus dugaan suap itu terungkap saat KPK melakukan operasi tangkap tangan di kawasan Serpong, Banten, pada Selasa, 1 Desember 2015. KPK menangkap Wakil Ketua DPRD Banten, SM Hartono; Anggota DPRD Banten, Tri Satria Santosa, dan direktur BUMD Banten Global.
Saat ditangkap, telah terjadi transaksi suap terkait pembentukan Bank Pembangunan Daerah Banten. Pada saat kejadian, KPK menyita US$11.000 dan Rp60 juta.
Berdasarkan hasil gelar perkara, KPK menyimpulkan telah terjadi tindak pidana korupsi yang kemudian menetapkan tiga orang itu sebagai tersangka.
Sebagai pihak penerima suap, Tri dan Hartono disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
Sebagai pihak pemberi suap, KPK menetapkan Ricky sebagai tersangka. Dia dijerat Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.