Setya Novanto Ajukan Perlindungan Hukum ke Kejaksaan Agung
Senin, 4 Januari 2016 - 17:05 WIB
Sumber :
- Rizki Anhar
VIVA.co.id
- Mantan Ketua DPR RI, Setya Novanto mengajukan surat permohonan perlindungan hukum kepada Kejaksaan Agung terkait kasus dugaan permufakatan jahat dalam upaya perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia.
Surat permohonan perlindungan hukum Novanto itu diserahkan kepada Jampidsus Kejaksaan Agung tertanggal 21 Desember 2015 dengan No 002/SP/ZLF/XII/2015 yang ditujukan kepada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung, Arminsyah.
Baca Juga :
Pekan Depan, Mabes Polri Panggil Setya Novanto
Andi mengatakan, dalam KUHP Indonesia merekam pembicaraan orang lain tanpa izin bukan merupakan delik (tindak pidana) baru dalam rancangan KUHP, yang disalin dari KUHP Belanda sekarang. Menurut dia, perekaman pembicaraan orang lain tanpa izin, sama dengan penyadapan telepon tanpa izin dan memasuki pekarangan orang lain tanpa izin.
"Semua ini menyangkut
privacy
orang," ujar dia.
Kemudian, lanjut Andi, ada perbedaan mendasar antara merekam pembicaraan tanpa izin dan CCTV. Pertama, perekam pembicaraan orang lain bersifat khusus untuk orang tertentu, waktu tertentu, tidak diketahui orang yang direkam pembicaraannya.
"Sedangkan dalam CCTV bersifat umum, waktu terus-menerus, dapat diketahui atau dilihat orang. Kedua, perekam pembicaraan berupa suara, sedangkan CCTV hanya gambar," ujar dia.
Sementara itu, terkait tuduhan permufakatan jahat yang dituduhkan Kejaksaan Agung kepada Setya Novanto, Andi menilai tuduhan tersebut tidak tepat. Sebab, dalam rekaman yang disadap Maroef Sjamsoeddin sama sekali tidak memenuhi unsur atau niat permufakatan.
"Permufakatan jahat dalam bahasa ahli dalam KUHP yang masih berbahasa Belanda 'samenspanning', bahasa Inggrisnya 'conspiracy', bahasa sehari-hari 'persekongkolan', tercantum dalam pasal 888 KUHP: Disebutkan permufakatan jahat, apabila dua orang atau lebih telah sepakat akan melakukan kejahatan. Bahasa aslinya 'samenspanning bestaat zoodra twee of meerdere personen overeengekomen zijn om het misdrijf te plegen'," papar ketua tim perumus RUU KUHP itu.
Dalam kasus permufakatan ini, Andi menambahkan, harus ada dua orang atau lebih yang menyetujui, tidak bisa dilakukan seorang diri. Persekongkolan seperti yang dituduhkan oleh Jaksa Agung HM Prasetyo tidak terpenuhi.
"Pengertian (definisi) permufakatan jahat dalam Pasal 88 KUHP seperti Undang-Undang pemberantasan tindak pidana korupsi, berdasarkan Pasal 103 KUHP, kecuali UU tersebut menyimpang. Tidak semua delik berlaku permufakatan jahat, hanya terhadap delik kejahatan terhadap keamanan negara dan Pasal 15 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tipikor," ujarnya.
Baca Juga :
Halaman Selanjutnya
Andi mengatakan, dalam KUHP Indonesia merekam pembicaraan orang lain tanpa izin bukan merupakan delik (tindak pidana) baru dalam rancangan KUHP, yang disalin dari KUHP Belanda sekarang. Menurut dia, perekaman pembicaraan orang lain tanpa izin, sama dengan penyadapan telepon tanpa izin dan memasuki pekarangan orang lain tanpa izin.