Pungutan Dana Ketahanan Energi Apa Dasar Hukumnya?
Jumat, 25 Desember 2015 - 21:54 WIB
Sumber :
- VIVA.co.id/Ikhwan Yanuar
VIVA.co.id
- Pemerintah melalui Kementerian ESDM akan menerapkan pungutan dana ketahanan energi pada komponen harga premium dan solar di tahun 2016. Akibatnya, penurunan harga BBM pun menjadi tidak terlalu signifikan dan terasa oleh masyarakat.
Harga Premium dari Rp7.300/liter yang harusnya turun menjadi Rp6.950/liter diharga keekonomiannya. Tapi karena ada pungutan dana ketahanan energi sebesar Rp200/liter maka harga Premium jadi Rp7.150/liter.
Sedangkan untuk harga solar dari Rp6.700/liter, yang harga keekonomiannya saat ini adalah Rp5.650/liter sudah termasuk subsidi Rp1.000/liter kemudian diterapkan pungutan dana ketahanan energi Rp300/liter menjadi Rp5.950/liter. Harga dan pungutan tersebut akan diberlakukan mulai 5 Januari 2016 mendatang.
Ketua Komisi VII DPR RI Kardaya Warnika, menilai bahwa keputusan pemerintah tersebut tidak memiliki landasan hukum yang jelas dan sejatinya baru hanya sebatas pemikiran.
Baca Juga :
Menteri ESDM Belum Serahkan LHKPN ke KPK
“Arena memungut uang itu hanya bisa dalam dua bentuk berdasar UU, yaitu pajak dan pendapatan negara bukan pajak (PNBP). Nah ini memungut dalam bentuk apa?,” kata Kardaya di Jakarta, Jumat 25 Desember 2015.
Baca Juga :
Datangi KPK, Menteri ESDM Baru Ingin Kenalan
Ia menegaskan, pemungutan dana ketahanan energi ini tidak bisa serta merta diterapkan hanya berdasarkan kebijakan semata. Terlebih pemungutan dana tersebut tidak atas dasar persetujuan Komisi VII.
“Harus ada dasar hukumnya, pemerintah seharusnya membentuk dulu dasar hukumnya dalam UU yang bisa menjadikan dasar hukum untuk melakukan pemungutan itu,” tegas dia.
Sementara itu Direktur Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara menilai, jika pungutan dana ketahanan energi yang diambil pemerintah dari penjualan harga baru bahan bakar minyak (BBM) jenis premium dan solar rawan korupsi kolusi dan nepotisme (KKN), dikarenakan belum ada landasan hukum yang jelas terkait pungutan tersebut.
“Program yang ingin dijalankan tapi dasar hukum tidak ada. Nanti bisa ada potensi untuk terjadinya KKN. Apalagi untuk kepentingan politik,” kata Marwan.
Menurut dia, pemungutan dana penguras energi fosil tersebut harus jelas aturan dan lembaga pengelolanya. Pasalnya dana ketahanan energi selalu menjadi isu di banyak negara sehingga sangat dituntut tata kelola yang baik terkait hal itu.
Untuk itu Marwan menyarankan agar Pemerintah segera memperbaiki kebijakan tersebut. “Pungutan dana ketahanan energi seharusnya ada aturan mainnya. dimana disimpan, siapa yang buat kebijakan dan jalankan, serta aspek tata kelolanya. Harus disiapkan dulu,” ujar Marwan.
Pungutan dana ketahanan energi pada komponen harga premium dan solar membuat penurunan harga BBM pun menjadi tidak terlalu signifikan terasa oleh masyarakat.
Harga Premium dari Rp7.300/liter yang harusnya turun menjadi Rp6.950/liter di harga keekonomiannya, tapi karena ada pungutan dana ketahanan energi sebesar Rp200/liter maka harga Premium jadi Rp7.150/liter.
Sedangkan untuk harga solar dari Rp6.700/liter, yang harga keekonomiannya saat ini adalah Rp5.650/liter sudah termasuk subsidi Rp1.000/liter kemudian diterapkan pungutan dana ketahanan energi Rp300/liter menjadi Rp5.950/liter.
Baca Juga :
Halaman Selanjutnya
Sementara itu Direktur Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara menilai, jika pungutan dana ketahanan energi yang diambil pemerintah dari penjualan harga baru bahan bakar minyak (BBM) jenis premium dan solar rawan korupsi kolusi dan nepotisme (KKN), dikarenakan belum ada landasan hukum yang jelas terkait pungutan tersebut.