Nazaruddin Cuci Uang sejak Dilantik Jadi Anggota DPR
Jumat, 11 Desember 2015 - 00:22 WIB
Sumber :
- VIVAnews/Ahmad Rizaluddin
VlVA.co.id - Jaksa Penuntut Umum pada KPK mendakwa mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin, melakukan tindak pidana pencucian uang dengan pasal yang berlapis.
Bahkan, pada dakwaan ketiga, Jaksa mendakwa Nazaruddin bersama-sama Muhajidin Nur Hasim, Muhammad Nasir, Neneng Sri Wahyuni, Aryu Devina dan Amin Andoko, telah melakukan pencucian uang dalam kurun waktu 15 September 2009 sampai 22 Oktober 2010, atau setidak-tidaknya pada waktu-waktu lain pada September 2009 sampai Oktober 2010.
Pada September 2009, Nazaruddin diketahui baru dilantik sebagai anggota DPR periode 2009-2014. Dia kemudian diangkat sebagai anggota Badan Anggaran DPR pada 27 Oktober 2009.
Nazaruddin didakwa menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana.
Baca Juga :
Diberi Suami Emas, Wanita Cantik Ini Dibui
"Yaitu harta kekayaan terdakwa diatasnamakan pihak lain dengan maksud menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaannya yang merupakan hasil dari tindak pidana korupsi berkaitan dengan jabatan terdakwa selaku anggota DPR," kata Jaksa Kreno Anto Wibowo, saat membacakan surat dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis, 10 Desember 2015.
Jaksa menuturkan, Nazaruddin adalah pemilik Permai Grup yang membawahi sejumlah perusahaan. Sumber penerimaan keuangan Permai Grup terutama berasal dari imbalan yang diberikan pihak lain pada Nazaruddin karena dia telah mengupayakan pihak lain untuk mendapatkan sejumlah proyek yang dibiayai dari dana/anggaran pemerintah.
Proyek pemerintah
Pada kurun waktu September 2009 hingga Oktober 2010, Jaksa menyebut Nazaruddin menerima uang dari PT Adhi Karya, PT Duta Graha lndah, dan PT Pembangunan Perumahan sebesar Rp76.536.720.633 atau lebih Rp76 miliar. Imbalan diberikan karena Nazaruddin telah mengupayakan proyek-proyek pemerintah tahun 2009.
Selain imbalan itu, sumber penerimaan keuangan juga berasal dari keuntungan perusahaan-perusahaan di bawah Permai Grup dalam mengerjakan berbagai proyek yang dibiayai dana/anggaran pemerintah tahun 2009. Proyek diperoleh dengan cara penggiringan anggaran yang dilakukan Nazaruddin dan mengatur proses pelelangannya, sehingga perusahaan-perusahaan itu ditunjuk sebagai pemenang.
"Dengan total keuntungan kurang lebih sebesar 40 persen dari total nilai proyek yang dikerjakan sebesar Rp1.884.833.048.522 (lebih Rp1,8 triliun),” kata Jaksa.
Hasil korupsi
Uang-uang yang berasal dari penerimaan imbalan maupun dari keuntungan proyek itu diketahui atau patut diduga sebagai hasil tindak pidana korupsi. Jaksa menyebut Nazaruddin kemudian bermaksud menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga berasal dari tindak pidana korupsi itu dengan beberapa cara.
Antara lain, sengaja menempatkan harta kekayaan ke dalam penyedia jasa keuangan menggunakan rekening atas nama orang lain dan rekening perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam Permai Grup dengan saldo akhir seluruhnya sebesar Rp50.205.544.915,92 atau lebih Rp50 miliar.
Tidak hanya itu, Jaksa menyebut harta Nazaruddin dibayarkan atau dibelanjakan untuk pembelian tanah serta bangunan seluruhnya Rp33.194.571.000 atau lebih Rp33 miliar dan tanah berikut bangunan yang dititipkan dengan cara seolah-olah dijual (dialihkan kepemilikannya) senilai Rp200.265.000 atau lebih Rp200 juta.
"Diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana korupsi berkaitan dengan jabatan terdakwa selaku anggota DPR periode 2009-2014, karena penghasilan resmi terdakwa sebagai anggota DPR tidak sebanding dengan harta kekayaan yang dimiliki, sehingga asal-usul perolehannya tidak dapat dipertanggungjawabkan secara sah karena menyimpang dari profil penghasilan sebagai anggota DPR," tutur Jaksa.
Menurut Jaksa, berdasarkan laporan harta kekayaan penyelenggara negara atas nama Muhammad Nazaruddin pada 22 Juli 2010, tercatat dia memiliki harta kekayaan sebesar Rp112.207.226.461 atau lebih Rp112 miliar.
Perbuatan Nazaruddin pada dakwaan ketiga itu adalah tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a, c dan e Undang-Undang Republik lndonesia Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik lndonesia Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik lndonesia Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana pencucian Uang Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP.
(mus)
Baca Juga :
Halaman Selanjutnya
Pada kurun waktu September 2009 hingga Oktober 2010, Jaksa menyebut Nazaruddin menerima uang dari PT Adhi Karya, PT Duta Graha lndah, dan PT Pembangunan Perumahan sebesar Rp76.536.720.633 atau lebih Rp76 miliar. Imbalan diberikan karena Nazaruddin telah mengupayakan proyek-proyek pemerintah tahun 2009.