Simposium Kebangsaan MPR, Mengevaluasi Proses Ketatanegaraan
Senin, 7 Desember 2015 - 16:42 WIB
Sumber :
VIVA.co.id
- Pada tanggal 7 Desember 2015, bertempat di Gedung Nusantara IV, Komplek Gedung MPR/DPR/DPD, Jakarta, MPR menggelar Simposium Kebangsaan. Simposium itu bertema Refleksi Nasional Praktik Konstitusi dan Ketatanegaraan Pasca Reformasi. Acara itu dihadiri ratusan orang dari berbagai kalangan, anggota MPR, mahasiswa, dosen, intelektual, pengamat hukum dan politik, para ketua lembaga negara.
Acara tersebut selain dihadiri oleh pimpinan MPR, Ketua MPR Zulkifdli Hasan, dan para Wakil Ketua MPR, Mahyudin, E. E. Mangindaan, Hidayat Nurwahid, dan Oesman Sapta juga dihadiri oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla, Presiden V Indonesia Megawati Soekarnoputri, Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo, dan Kapolri Jenderal (pol) Badrodin Haiti.
Dalam sambutan pembukaan, Zulkifli Hasan mengatakan refleksi akhir tahun melalui Simposium Kebangsaan ini menjadi penting untuk kita selenggarakan bersama, tidak saja sebagai momentum untuk menginsyafi apa yang telah kita ikhtiarkan bersama untuk bangsa dan negara Indonesia tercinta, melainkan juga sebagai momentum penguatan persatuan kita sebagai satu kesatuan bangsa dalam upaya mewujudkan janji-janji kebangsaan sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Lebih lanjut dikatakan, setelah bangsa ini melakukan reformasi sejak tahun 1998, belasan tahun kemudian, saatnya sekarang waktu yang tepat untuk melakukan refleksi secara jujur dan pikiran jernih mengenai pengimplementasi ketatanegaraan yang telah berlangsung selama ini. Bila kita berpikir dengan jernih, menurut Zulkifli Hasan, harus diakui ada capaian positif dalam pengimplementasian proses ketatanegaraan selama era reformasi. Capaian positif itu seperti adanya transparansi dalam roda pemerintahan, pemilu yang berkala, demokratisasi, munculnya lembaga-lembaga negara baru, kebebasan memperoleh informasi, dan desentralisasi kekuasaan dan otonomi daerah.
Meski demikian, Zulkifli Hasan mengajak tetap untuk waspada. Capaian yang positif tadi disebut Zulkifli Hasan sebagai tahap awal dalam membangun konsolidasi demokrasi. Konsolidasi demokrasi sebagai wujud untuk menghadapi berbagai kendala dalam demokrasi seperti masalah politik etik, pemerintahan demokrasi tanpa diikuti meritokrasi, politik padat modal yang menyebabkan politik berbiaya tinggi sehingga kedaulatan rakyat menjadi kedaulaatan bagi segelintir orang.
Diakui Zulkifli Hasan meski ada perkembangan demokrasi, capain positif, namun masih ada kelemahan. Hal demikian menurut Zulkifli Hasan harus diperkuat, perlu ada pendalaman agar sesuai dengan prinsip-prinsip kebangsaan. Untuk itu perlu ada inisiatif untuk menata ulang sistem ketatanegaraan.
Untuk melakukan pendalaman, menurut Zulkifli Hasan, harus tahu kunci-kunci isunya. Kunci isu tersebut diungkapkan seperti adanya keinginan untuk menghidupkan rencana pembangunan seperti GBHN pada masa Presiden Soeharto atau Semesta pada masa Presiden Soekarno, revitalisasi Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika serta NKRI, juga perlunya untuk meninjau sistem ketatanegaraan pasca reformasi apakah sudah sesuai dengan kebutuhan rakyat atau belum.
Dalam sambutan, Jusuf Kalla menyebut konstitusi merupakan kesepakatan dasar, hukum tertinggi. Diungkapkan bahwa konstitusi terbentuk dan didasari suasana pada jaman dan lingkungan masa itu. Dari suasana yang melingkupi pada masa itu tercermin pada konstitusi kita yang mengamanatkan tujuan bangsa seperti yang tertuang dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 Alinea IV yakni melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Ditegaskan oleh Jusuf Kalla bahwa konstitusi bukan sesuatu yang sakral sehingga konstitusi bisa diubah atau mengalami perubahan. Untuk itu membahas konstitusi sangat baik dan penting.
Dalam kesempatan itu, Megawati memaparkan pengalamannya saat berkunjung di Cina. Di salah satu provinsi di negeri tirai bambu itu, pejabat di sana mengatakan bahwa pembangunan yang dilakukan menggunakan pola yang pernah dilakukan oleh Presiden Soekarno, yakni Pembangunan Semesta.
Baca Juga :
Halaman Selanjutnya
Ditegaskan oleh Jusuf Kalla bahwa konstitusi bukan sesuatu yang sakral sehingga konstitusi bisa diubah atau mengalami perubahan. Untuk itu membahas konstitusi sangat baik dan penting.