Belajar dari Mereka yang Membakar Hutan
- VIVA.co.id/Dedek Hendry (dok)
VIVA.co.id - "Hutan itu ladang ilmu dan hidup," tutur Riduan sembari menghidupkan rokok kreteknya. Asap mengepul di wajahnya sementara matanya menerobos langit-langit rumahnya. Begitu pembuka obrolan itu mengalir layaknya kopi hitam yang dituang di dalam gelas kecil di beranda rumahnya.
Lima puluh tahun lalu, Riduan tinggal berpindah-pindah dari ladang ke ladang di dalam hutan. Baru kini, memasuki usianya yang ke 71 tahun, lelaki asli Suku Serawai ini banyak menghabiskan waktu berdiam di rumah gubuknya.
"Dulu cuma dari hasil hutan yang menghidupi kami. Bertanam padi darat atau sekadar berladang kopi menjadi garis hidup kami," kata Riduan sembari membetulkan posisi kopiah (peci) usang miliknya kepada VIVA.co.id medio November silam.
Bekerja di ladang tentu bukan hal yang mudah. Kesabaran harus diutamakan, sehingga tidak berbuah sia-sia. Terutama saat pertama kali membuka ladang di hutan.
Menurut Riduan, banyak hal yang harus dipahami dan diperhatikan. "Perlakuan ke hutan itu jangan sembarangan. Bisa jadi balak (bencana) nanti," katanya.
Tradisi Kekat Api
Di Suku Serawai, tradisi membuka ladang baru di hutan memang tak pernah tertuliskan. Namun masing-masing warga suku mengetahui sejumlah hal yang harus dipatuhi.
Umumnya, warga di pinggiran hutan tak memiliki peralatan yang memadai untuk membuka lahan. Karena itu, satu-satunya pola membuka ladang hanya dengan membakar hutan.
Warga juga mempercayai, metode sederhana itu juga bisa membantu proses penyuburan tanah dan membunuh ancaman hama saat sudah mulai berladang.
"Kami menyebutnya dengan Kekat, umumnya dilakukan saat musim kering dan bisa dilakukan sendiri atau bersama-sama," kata Riduan.
Kekat Api, sejatinya dilakukan hampir seluruh masyarakat tradisional di Indonesia. Tradisi membuka ladang ini awalnya dimulai dengan menebangi pohon yang berada di atas lahan yang hendak dijadikan ladang.
Kebakaran hutan yang melanda sejumlah wilayah Indonesia beberapa waktu ini.
Setelah itu, sisa tebangan akan dibiarkan mengering di atas tanah. Umumnya para pembuka ladang akan membiarkan sisa tebangan mereka hingga sebulan. Dengan begitu, pohon dan daun kayu yang sudah roboh akan mengering.
Selanjutnya baru kemudian memasuki proses pembakaran. Lahan yang telah ditebangi, akan dibuat sekat keliling berupa batas tanah. Para peladang akan membersihkan sedemikian rupa hingga hanya menyisakan tanah kosong di sekeliling lahan yang hendak dibakar.
"Tujuannya agar api tidak meloncat keluar. Biasanya kami buat minimal dua meter. Tergantung luas lahan lah," kata Riduan.
Lantas apakah lahan tersebut sudah siap dibakar? Menurut Riduan, umumnya meski sudah dibuat kekat api, jarang warga langsung melakukan pembakaran. Mereka pasti mengawalinya dengan menanam pisang di setiap sudut kebun.
Warga suku percaya, pisang yang ditanam dan nantinya akan dilalap api akan menjauhkan hama penyakit saat akan mulai bercocok tanam.
"Hama penyakit mati semua. Tidak tahu juga alasannya kenapa, tapi memang hama jarang mengganggu kalau kita bakar daun pisang," ujarnya.
Mencari Buntut Angin
Asap masih mengelabut di wajah Riduan. Rokoknya sepertinya tak kunjung berhenti. Mungkin sudah empat atau lima batang rokok bergelimpangan di beranda rumahnya. Namun percakapan tentang kekat api ini belum tuntas.
Kembali ke kekat api. Menurut Riduan, membakar lahan di hutan sejatinya tetap tak bisa dilakukan seorang diri. Sekurangnya harus ada dua orang untuk mengawasi. Dengan begitu keamanan juga dapat lebih terjaga ketika ada sesuatu yang tak diinginkan.
"Menyulut apinya juga tidak bisa sembarangan asal bakar. Kita harus tahu dimana buntut angin," ujarnya.
Ya, buntut angin atau ujung arah angin. Jadi, menghidupkan api jangan mengikuti kemana arah angin berhembus, tapi harus menentang angin. Karena itu disebut buntut angin.
"Kalau dibakar berlawanan angin, api cenderung merunduk. Ia akan membakar perlahan. Jangan pernah coba mengikuti arah angin, kita pun bisa celaka," kata Riduan.
Tentunya proses pembakaran ini tak bisa berlangsung sekejap. Biasanya, api baru akan padam setelah beberapa jam. Itu pun tergantung dengan luas lahan yang dibakar. Karena itu tetap dibutuhkan pengawasan dari yang membakar.
"Dan yang pasti membakarnya jangan lupa jam. Angin biasanya tenang pada pagi hari hingga jam 10.00-an. Kalau sudah siang, mending ditunda besok lagi," kata Riduan.
Menggeges Imbo
Bergeser ke kawasan hutan Taman nasional kerinci Seblat (TNKS). Praktik serupa juga dilakukan oleh suku Rejang. Bahkan cenderung lebih tertata karena ikut mengajarkan perihal sanksi jika ada pelanggaran dalam praktik pembukaan lahan di hutan.
Seperti dikutip dalam laporan terkait penguasaan lahan di Suku Rejang yang disusun periset Akar Foundation Dedek Hendry (2015). Suku yang hingga kini masih mempertahankan sebagian hukum adat mereka tersebut mengatur rinci bagaimana tata cara membuka hutan atau Imbo dalam istilah mereka.
"Untuk mengelola imbo, setiap warga marga mengawalinya dengan melakukan survei. Setelah menemukan hamparan imbo yang belum dikelola, berada di dekat aliran sungai atau mata air dan dianggap layak untuk dibuka, calon pembuka imbo akan membuat pemberitahuan terlebih dahulu," tulis Dedek.
Lalu, calon pembuka imbo akan menerangi atau menebas semak belukar dengan ukuran 2-4 meter persegi di sudut-sudut hamparan lahan imbo yang akan dibuka, dan memancangkan tiga kayu yang diikat dengan akar dan di tengahnya digantungi kayu atau disebut balai-balai, di lahan yang diterangi.
Bila warga semarga lainnya melihatnya, warga tersebut tidak akan mengganggu, apalagi sampai menghalang-halangi rencana calon pembuka imbo. Pemberitahuan itu dilakukan selama tiga bulan. Setelah itu, calon pembuka imbo akan melakukan ritual tabeus untuk menyampaikan permintaan izin kepada roh halus atau leluhur penjaga imbo.
Ritual dilakukan dengan meninggalkan sesaji dan mengambil secuil tanah untuk dibawa pulang ke rumah dan diletakkan di bawah bantal. Apabila rencana membuka imbo tidak disetujui, calon pembuka imbo akan mendapatkan mimpi buruk.
Selama tiga bulan tidak pernah mendapatkan mimpi buruk, maka calon pembuka imbo meminta izin kepada pasirah melalui tuai kuteui. Bila tidak terdapat pelanggaran hukum adat, permintaan izin dipenuhi oleh pasirah. Berbekal izin dari pasirah, calon pengelola imbo meneruskan rencananya dengan menebas akar-akar pepohonan dan semak belukar.
Tiga hingga enam bulan setelah menebas akar pohon dan semak belukar, calon pengelola imbo menebangi pohon-pohon. Biasanya, penebangan pohon dilakukan menjelang akhir musim kemarau.
Setelah dibiarkan selama 3–6 bulan, maka kayu-kayu pohon dibakar atau neme’un. Pembakaran lazimnya dilakukan menjelang awal musim penghujan. Sebelum neme’un, pengelola lahan akan membersihkan bagian pinggir lahan sebagai batas agar api tidak menjalar ke luar lahan atau menggeges.
Lahan hutan yang sudah dibersihkan, menggeges atau sekat api/VIVA.co.id/Akar Foundation dok
Batas yang dibuat berjarak 1–2 meter. Sewaktu neme’un, pengelola lahan mengawasi api. Bila api menjalar keluar lahan dan membakar semak belukar dan pohon-pohon di luar lahan yang digarap, pengelola lahan dikenakan sanksi juluak tujua. Yakni, mengumpulkan seluruh sisa pembakaran menjadi tujuh tumpukan.
Sepintas tata cara ini memang tradisional. Namun di balik ini, para 'pembakar' hutan ini mengajarkan kearifan dan perilaku santun terhadap hutan. Hutan tak cuma menjadi objek atau sebatas ladang belaka, namun juga menjadi ruang hidup dan ilmu bagi mereka yang berada di pedalaman.
Kopi habis, asap menipis di wajah Riduan. Obrolan itu pun ditutup dengan gerimis. (ren)