Tukang Tambal Ban Ini Ternyata Magister

Kadiyono, tukang tambal ban punya SLB
Sumber :
  • VIVA/Dwi Royanto
VIVA.co.id - Siapa sangka Kadiyono (46), seorang tukang tambal ban di Kecamatan Boja, Kendal, Jawa Tengah, pernah menempuh pendidikan tinggi. Pria yang kini merintis sekolah luar biasa (SLB) gratis itu ternyata bergelar magister atau lulusan strata dua (S2).

Kadiyono memperoleh gelar sarjana (S1) dari Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang tahun 2001. Sementara gelar magisternya diraih melalui jurusan Manajemen Pendidikan di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) pada  2012.

"Dulu kuliah S1 saya pernah terputus karena faktor ekonomi. Namun setelah sebelas tahun lamanya dari tahun 1990-2001, saya berhasil lulus,” ujar Kadiyono kepada VIVA co.id ditemui di rumahnya pada Kamis, 26 November 2015.

Bagi Kadiyono, keberhasilannya menempuh sejumlah jenjang pendidikan tinggi tak lepas dari aktivitas tambal ban yang sampai kini masih terus ditekuni. Meski kini tercatat sebagai seorang guru, pekerjaan tambal ban yang sudah ia lakoni sejak berusia delapan tahun itu masih terus berlanjut.

“Saya dari kecil sudah jadi tukang tambal ban, membantu ayah saya. Tanpa ini saya tidak akan jadi apa-apa," ujar Kadiyono.
Hebat, Orang dengan berat 247 Kg Lari Maraton Sejauh 5 Km

Pantang tinggalkan kompresor
Wanita Ini Beri Makan Gratis Tunawisma 24 Jam Nonstop

Rupanya ilmu kesabaran dan ketekunan yang sudah diajarkan serta dibiasakan sejak kecil, kini menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi bapak tiga anak itu. Berkat aktivitas tambal ban pula Kadiyono berhasil merintis sebuah lembaga pendidikan khusus untuk anak berkebutuhan khusus di daerahnya.
Dokter Tanpa Kaki Manfaatkan Bangku Kayu untuk Berjalan

Sekolah Luar Biasa bernama Insan Tiara Bangsa Plus hasil rintisannya bahkan dibuka secara gratis bagi para siswa autis, tuna netra, down syndrome, tuna daksa, tuna grahita, tuna wicara, dan tuna rungu.

"Mereka mengajarkan saya selalu sabar dalam menjalani hidup. Saya anggap mereka anak sendiri. Karena mereka juga punya hak yang sama memperoleh pendidikan," ujar Kadiyono.

Ditemui saat bekerja di lapak tambal bannya di Jalan Pemuda Boja, Kadiyono bahkan tampak berpenampilan sangat sederhana. Dia mengenakan kaus oblong penuh bekas oli dan sendal butut sederhana.

"Kompresor (alat pemompa angin) ini yang menjadikan saya sekolah tinggi. Maka saya tak akan meninggalkannya seperti apa pun keadaannya," ujarnya.

Sekolah masih menumpang

SLB yang dirintis Kadiyono ternyata masih menumpang. Gedung dua kelas berukuran kecil itu ternyata gedung milik Taman Pendidikan Quran (TPQ).

Tapi kegiatan belajar mengajar yang diikuti sedikitnya 23 anak penyandang disabilitas di gedung itu selalu ramai. Anak-anak yang belajar tanpa fasilitas memadai tetap antusias mengikuti pembelajaran yang dimulai pukul 08.00 sampai 11.45 WIB.

Terlihat timpang memang jika fasilitas itu dibandingkan dengan sekolah-sekolah umum lain. Untuk duduk saja, para siswa autis dan berkebutuhan khusus itu terpaksa lesehan dan menggunakan meja kayu sederhana.

"Kita memang masih menumpang di gedung orang. Fasilitas yang ada memang sangat sederhana. Tapi kami sangat bersyukur ada yang minjami tempat," kata Kadiyono.

Ditolak karena SLB

Kadiyono mengisahkan, sejak gagasan membangun SLB itu muncul, dia memang sangat kesulitan mendapatkan tempat. Selain karena tak ada biaya, masih banyak warga yang memandang sebelah mata sekolah bagi anak berkebutuhan khusus.

"Pernah kita mau kontrak satu rumah di Mijen, Semarang, untuk lokasi SLB ini. Sudah kami bayar Rp4,5 juta, tapi pemiliknya mendadak membatalkan," katanya.

Akhirnya, ada beberapa orang yang berbaik hati menawarkan untuk menggunakan gedung TPQ Fadlullah di Dusun Campurejo, Boja. Meski waktu penggunaannya harus berbagi dengan aktivitas madrasah diniyah, para guru dan siswa sangat bersemangat belajar dan mengajar.

Hanya secercah harapan Kadiyono kepada pemerintah agar bisa memberikan ruang dan fasilitas untuk mendukung SLB itu. Lebih dari itu, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah bisa lebih menyejahterakan nasib para guru, terutama guru SLB.

"Semoga ke depan pemerintah bisa bantu pengadaan tanah untuk membangun SLB ini. Tidak mungkin kami numpang di sini terus," ujarnya.
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya