Rezeki Menambal Ban, Pria Ini Sanggup Biayai Sekolah Difabel

Kisah Penambal Ban Berjuang demi Anak-anak Difabel
Sumber :
  • VIVA.co.id/Dwi Royanto
VIVA.co.id - Kadiyono, seorang warga Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, menjalani ragam profesi demi memenuhi kebutuhan hidupnya sehari. Profesi utamanya ialah guru pada SMA PGRI Kendal. Dia juga menyambi bekerja sebagai penambal ban.
Tips Sukses Jalani Usaha Kecil dari Pengusaha Sepatu

Kadiyono juga merintis mendirikan sekolah bagi anak-anak difabel atau berkebutuhan khusus yang dinamai Sekolah Luar Biasa (SLB) SLB Insan Tiara Bangsa Plus Boja di Kendal.
Kisah Sukses Pria Probolinggo, Pilih Berdagang daripada PNS

SLB Insan Tiara Bangsa Plus Boja yang dirintis pada 2 Mei 2015 berlokasi di Dusun Krajan, Desa Campurejo, Kecamatan Boja. Saban hari, gedung sederhana itu selalu ramai dengan aktivitas belajar anak-anak autis, tuna netra, down syndrome, tuna daksa, tuna grahita, tuna wicara, dan tuna rungu.
Dari Bisnis Online, Pria 25 Tahun Bisa Beli Rumah dan Mobil

Kadiyono bukan orang yang memiliki uang berlebih. Bapak tiga anak itu masih hidup dalam serba keterbatasan. Tetapi semangatnya yang membara mengalahkan keterbatasan hidupnya.

Dia tetap mengajar dengan bayaran Rp68.500 per bulan, menyambi menambal ban kala tak mengajar, lalu mendidik anak-anak difabel pada SLB yang didirikannya.

"Tambal ban ini yang selalu menopang hidup saya. Sudah sejak tahun 1978 saya tekuni bersama ayah saya. Sejak SD sampai saya menikah, ya dari tambal ban," kata Kadiyono kepada VIVA.co.id, Kamis, 26 November 2015.

Kadiyono memulai karier sebagai guru di MI Muhmmadiyah Boja tahun 1992, kemudian menjadi Kepala SD Muhammadiyah Boja tahun 2005, SMA PGRI Kendal tahun 2008 serta pernah mengajar di Sekolah Luar Biasa (SLB) Surya Gemilang Boja tahun 2013.

Pria berusia 46 tahun lulusan pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) tahun 2012 itu sampai kini belum merasakan perhatian pemerintah dalam bidang pendidikan. Beberapa kali mengikuti seleksi calon pegawai negeri sipil (PNS) di Kabupaten Kendal tak sekali pun lulus.

"Selain mengelola SLB, saya masih mengajar di SMA PGRI Kendal pada hari Senin, Kamis dan Jumat," katanya.

SLB yang kini masih terus dirintis, kondisinya sangat memprihatinkan. Para pengajar, termasuk Kadiyono, bahkan rela tak mendapatkan uang pesangon dalam aktivitasnya mencerdaskan puluhan anak berkebutuhan khusus. Sarana dan prasarana belajar pun hasil iuran seikhlasnya para guru dan orang tua murid.

"Kami sediakan kotak seikhlasnya di sekolah. Sifatnya tidak memaksa untuk alat belajar kita. Hasil dari tambal ban saya tiap hari juga selalu saya sisihkan 10 persen untuk belajar kita," ujar Kadiyono.

Antar-jemput puluhan kilometer

Kadiyono bahkan saban hari rela mengantar dan menjemput siswanya secara gratis, meski harus menempuh jarak puluhan kilometer.

Pagi itu, Kadiyono yang berkemeja batik warna cokelat dengan sepatu hitam pekat, sudah bergegas keluar dari rumah sederhananya di Jalan Pemuda 56 B, Dusun Jagalan, Kecamatan Boja. Berbekal tas jinjing sederhana dan sepeda motor tua, Kadiyono mulai menggeber motornya.

Kadiyono tidak langsung menuju sekolah. Dia lebih dulu harus menuju beberapa perkampungan dan jalan berliku untuk menjemput sejumlah muridnya di SLB Insan Tiara Bangsa Plus.

Meski harus menempuh jarak puluhan kilometer di kampung pegunungan, aktivitas itu menjadi agenda wajib yang dilakoninya tiap hari dengan sangat sabar. Sekali jalan, motor butut Kadiyono bahkan bisa dinaiki empat siswa sekaligus menuju sekolahnya.

"Ada delapan siswa yang tiap hari saya antar-jemput sendiri. Mereka dari kampung yang berbeda-beda, paling jauh sepuluh kilometer," kata Kadiyono.

Lulusan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIK) Semarang tahun 2001 itu dikenal ulet melakoni aktivitas belajar-mengajar. Apalagi yang dihadapi adalah para siswa yang memiliki kebutuhan khusus.

"Model pembelajaran kita memang berbeda. Pada intinya kita harus sangat sabar dan detail mengajari murid sesuai dengan kemampuan mereka," katanya.

Jika siswa sedang tak ingin belajar di sekolah, pembelajaran dilakukan di rumah para siswa. Kadiyono dan tujuh pengajar lain akan menyambangi murid mereka meski harus menempuh jarak yang cukup jauh.

Yayasan SLB milik Kadiyono tak seperti sekolah lain. Yayasan itu sampai kini belum tersentuh bantuan pemerintah. Para guru rela mengajar secara gratis untuk mencerdaskan para siswa berkebutuhan khusus. Kadiyono rela menyisihkan uang hasil menambal ban tiap hari untuk menopang operasional sekolah. (ase)
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya