186 Kasus Korupsi "Terparkir" di Kejaksaan Tinggi Jawa Timur
- VIVA/Nur Faishal
VIVA.co.id - Sebanyak 186 perkara korupsi yang disidik Kejaksaan Tinggi Jawa Timur dan jajaran hingga kini belum rampung. Beberapa alasan disampaikan kejaksaan kenapa itu terjadi, di antaranya karena lambannya penghitungan kerugian negara oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) provinsi setempat.
Data diperoleh VIVA.co.id menyebutkan, ratusan kasus korupsi yang mengendap di proses penyidikan itu ditangani Kejati dan seluruh Kejaksaan Negeri se-Jatim sepanjang tahun 2014-2015. Total, potensi kerugian negara sebesar Rp283 miliar.
"Uang negara yang berhasil diselamatkan Rp85,667 miliar, berupa uang tunai dan aset yang disita dari tersangka," kata Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Jatim, Romy Arizyanto, Jumat, 13 November 2015.
Kejati kini menyidik 27 kasus korupsi. Dari jumlah itu, setidaknya dua kasus terbilang kakap dari sisi kerugian negara. Yakni kasus dugaan korupsi tambang pasir besi di Lumajang dengan potensi kerugian negara Rp126 miliar.
Dua orang sudah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini, yakni Direktur Utama PT Indo Minning Modern Sejahtera (IMMS), Lam Chong San, dan Ketua Tim Amdal Kabupaten Lumajang, Raden Abdul Ghafur.
Lalu, kasus dugaan korupsi dana Program Kemitraan Bina Lingkungan (PKBL) di PT Garam (Persero) dengan potensi kerugian negara Rp93 miliar. Lima mantan pejabat PT Garam sudah jadi tersangka dalam kasus ini. Yakni mantan Direktur Utama, Slamet Untung Irredenta; mantan Kabag PKBL, Ahmad Fauzi Isyowani; mantan pegawai, Sudarto; Kabag PKBL, Muchsin; dan mantan Dirut Keuangan, Yulian Lintang.
Penyidikan dua kasus tersebut sebenarnya selesai. Hanya saja, berkas tak juga diserahkan ke penuntutan karena BPKP belum juga menyelesaikan hasil hitungan kerugian negaranya.
"Sebenarnya ada tiga perkara yang menunggu audit kerugian negara dari BPKP. Selain kasus di IMMS dan PK di PT Garam, juga perkara dugaan korupsi kredit pegawai Bakesbangpol di Bank Jatim Kota Malang," jelas Romy.
Laporan hitungan kerugian negara dari BPKP, lanjut mantan Kepala Seksi Pidana Khusus Kejari Jambi itu, diperlukan untuk memperkuat terjadinya pidana korupsi. Unsur kerugian negara memang harus dipenuhi, dan untuk kasus rumit, harus dikuatkan dengan laporan hitungan kerugian negara dari lembaga audit milik negara, BPKP atau BPK.
"Kalau tidak khawatir dijadikan celah oleh terdakwa agar bebas," papar Romy. (one)
Laporan: Nur Faishal / Surabaya